Wednesday, October 12, 2011

House of Sampoerna

Salah satu tempat recomended di Surabaya, yang u most to come, if u visisted Surabaya adalah House of Sampoerna yang beralamat di Jl.Taman Sampoerna No.6.
House of Sampoerna ini merupakan bangunan bergaya kolonial yang terdiri dari museum, art gallery, art shop, cafe dan sebagian masih menjadi rumah pribadi keluarga Sampoerna.
House of Sampoerna menjadi saksi sejarah perjalanan keluarga Sampoerna dalam mendirikan salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Meskipun bukan perokok tapi sangat menarik berkunjung kesini, kita bisa belajar tentang sejarah rokok disini, juga ngeliat unit pelintingan rokok Dji Sam Soe (234) yang dilakukan secara manual, dan bagi hobi jeprat jepret jangan dilewatkan, banyak objek yang menarik disini.

Depan pintu masuk Museum


Di dalam Museum




Dibelakang itu piala-piala prestasi keluarga sampoerna


Bersama Rolls Royce kuno milik keluarga Sampoerna yang dulu pernah disita waktu pendudukan Jepang. yang terparkir manis, liat plat no cantiknya ^^


Setelah berkunjung ke House of Sampoerna, sekarang kita bahas sedikit yuk tentang 4 generasi keluarga Sampoerna berserta bisnisnya.

Generasi Pertama


Pada 1898, bersama ayah dan kakak perempuannya, Liem Seeng Tee meninggalkan Provinsi Hokian di daratan China menuju Surabaya. Liem inilah generasi pertama dari generasi sukses Sampoerna. Pada 1912-1913, Liem berjualan arang dengan sepeda tua, yang mempertemukan dirinya dengan Tjiang Nio, yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Dia berjualan di warung yang disewa dari tabungan hasil kerjanya di pabrik rokok di Lamongan. Dari situlah dia menjual barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari, mulai dari bahan pangan sampai tembakau. Liem Seeng Tee dan istrinya menjual tembakau yang telah diracik dengan cita rasa tertentu (saos, cengkih dan sebagainya) sesuai dengan keinginan pembeli, yang kemudian dilinting menjadi rokok lintingan. Ternyata tembakau racikan mereka sangat digemari oleh pembeli dan usaha menjual rokok lintingan dengan tembakau racikan tersebut berkembang dengan pesat.
Pada tahun 1913 usaha tersebut dijadikan badan hukum dengan nama Handel Maatschappij Sampoerna. Liem pulalah yang pertama menjual rokok dengan aneka macam merek dagang, seperti Dji Sam Soe, 123, 720, 678, dan Djangan Lawan, yang ditujukan bagi semua segmen pasar. Bahkan, andalannya adalah Dji Sam Soe -hingga kini logo dan kemasannya masih dipertahankan.


Pada tahun 1920 Liem Seeng Tee mulai memperluas usaha penjualan rokok “Dji Sam Soe” dengan menggunakan sistem konsinyasi/keagenan, yang memungkinkan “Dji Sam Soe” dapat dijual ke luar Surabaya. Sejak adanya sistem keagenan tersebut dengan daya jangkau makin bertambah luas dan gaya kepemimpinan Liem Seeng Tee yang tekun (ditandai dengan kehadirannya yang terus-menerus dan minatnya dalam setiap tahap operasi pembuatan rokok) Sampoerna makin berkembang. Akhirnya pada tahun 1930 Liem Seeng Tee memindahkan pabrik dan keluarganya ke tempat yang sekarang kita kenal dengan nama Taman Sampoerna dan pada awal tahun 1940-an Sampoerna merupakan perusahaan rokok terbesar di pulau Jawa

Perang Dunia II telah memporak-porandakan usaha tersebut, namun setelah perang usai Liem Seeng Tee berusaha membangun kembali perusahaannya. Pada tahun 1949, “Dji Sam Soe” kembali berada di pasaran. Secara perlahan perusahaan berkembang lagi setelah para agen yang dahulu menjual “Dji Sam Soe” kembali menjual produk andalan tersebut. Namun dalam era Perang Dunia II selama kependudukan Jepang Liem Seeng Tee pernah ditawan oleh tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Liem Seeng Tee dibebaskan. Sejak saat itulah selalu diadakan selamatan di pabrik hingga kini. Dan sejak saat itu pabrik memberlakukan 27 Agustus sebagai hari lahir pabrik dan pendirinya Liem Seeng Tee.

Tetapi dengan wafatnya Liem Seeng Tee pada tahun 1956 perusahaan secara perlahan menurun bahkan pada tahun 1957 perusahaan jatuh pailit.

B. Generasi Kedua


Sepeninggal Liem, usaha dikelola dua orang putrinya, Sien dan Hwee, kemudian pada tahun 1959 diteruskan Liem Swie Ling. Swie -dikenal sebagai Aga Sampoerna yang mampu membangkitkan kembali perusahaan keluarga Sampoerna, meskipun pada waktu itu dia telah mempunyai pabrik rokok sendiri Denpasar-Bali (PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas).

Aga Sampoerna dikenal dengan kemampuannya dalam menilai manajer yang potensial kemudian memberi mereka wewenang untuk mencapai hasil operasional dan keuangan yang paling tinggi dengan gaya mereka sendiri.

Di bawah kepemimpinan Aga Sampoerna, “Dji Sam Soe” kembali berjaya Pada tahun 1972 (12 tahun Aga Sampoerna mengambil alih kepemimpinan Sampoerna) perusahaan berhasil menjual 1,2 juta batang rokok “Dji Sam Soe” per hari, atau “Dji Sam Soe” memberikan keuntungan kepada perusahaan sekitar US $ 200.000 per bulan. Jumlah yang sangat besar pada masa itu.

Pada Januari 1979, Sampoerna memasarkan sigaret kretek tangan lainnya dengan nama “Sampoerna A”. Apabila “Dji Sam Soe” merupakan rokok yang menandai era kepemimpinan Liem Seeng Tee, maka “Sampoerna A” merupakan rokok yang menandai era kepemimpinan Aga Sampoerna.

C. Generasi ketiga


Putera Sampoerna (putera kedua Aga Sampoerna) adalah sedikit di antara pebisnis lokal yang sukses membuat bendera perusahan warisan keluarga berkibar-kibar. Lahir di Belanda pada 1947 dan mendapatkan pendidikan internasional pertama di Diocesan Boys School, Hongkong, kemudian di Carey Grammar High School, Melbourne, dan berlanjut ke University of Houston, Texas, membuat Putera memiliki latar belakang pendidikan global yang berkualitas.

Lulus dari perguruan tinggi, generasi ketiga dari pendiri PT HandjayaMandala Sampoerna (HMSP) Liem Seeng Tee itu tidak langsung melibatkan diri dalam bisnis keluarga. Bersama istrinya warga Amerika Serikat keturunan Tinghoa, Katie Chow, Putera tinggal di Singapura dan menjalankan perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit milik pengusaha Malaysia. Baru sekitar tahun 1978, Putera Sampoerna mulai terlibat dalam mengendalikan manajemen perusahaan. Putera Sampoerna mulai membesarkan Sampoerna dengan membeli pabrik pembuat sigaret mesin Philip Morris International di Malang-Jawa Timur dan bersamaan dengan memindahkan pabrik Panamas dari Denpasar-Bali ke Malang-Jawa Timur

Tahun 1980-an, Putera Sampoerna makin banyak menghabiskan waktunya untuk mengelola Sampoerna. Pada awal tahun 1982 Putera Sampoerna memindahkan kegiatan pengolahan cengkih, pengolahan tembakau, percetakan pembungkus dan pembuatan sigaret mesin dari Taman Sampoerna ke lokasi baru, yaitu di Surabaya Industrial Estate Rungkut. Pabrik Taman Sampoerna dipertahankan untuk kegiatan pelintingan rokok dengan tangan.
Pada tahun 1983 Putera Sampoerna bersama Boedi Sampoerna (sepupunya) mengambil kebijakan baru, yaitu menerapkan system pembelian tembakau langsung ke petani. Sampoerna mulai mendirikan gudang-gudang penyimpanan tembakau di beberapa pusat-pusat pembelian tembakau. Dengan penerapan system pembelian baru, selain terjaminnya persediaan tembakau untuk masa produksi 2 atau 3 tahun kemudian, mutu dari tembakau persediaan tersebut dapat lebih terjamin. Untuk mendukung penelitian dan pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas produk, dibangun laboraturium ultra modern di Rungkut. Sampoerna juga mulai mencoba mengembangkan Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Di penghujung tahun 1989 tepatnya tanggal 18 Desember PT HM Sampoerna meluncurkan produk terbarunya yang unik. Kenapa unik? Karena produk itu tidak masuk dalam tiga kategori besar rokok yang ada saat itu, yaitu sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM) reguler, dan sigaret putih mesin (SPM). Lewat produk yang diberi nama A Mild.

Pada tahun 1990, Sampoerna telah berubah dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan publik. Hal ini ditandai dengan penjualan 27.000.000 sahamnya melalui Bursa Efek Jakarta dan Surabaya. Menjadi perusahaan publik adalah murni ide Putera Sampoerna.

D. Generasi keempat


Sejak 27 Juni 2000, putra bungsu Putera Sampoerna, Michael Joseph Sampoerna lulusan London School of economics, masuk ke jajaran direksi. Setahun kemudian dia diangkat sebagai presiden direktur sekaligus chief executive officer dan chief financial Officer PT HM Sampoerna Tbk melanjutkan program yang sebelumnya dilanjutkan sang Ayah. Dengan masuknya Michael Joseph Sampoerna, si bungsu, sang putra mahkota yang punya hobi main poker, generasi ke-4 dari keluarga Liem Seeng Tee ke dalam jajaran direksi PT.HM Sampoerna, Tbk pada tahun 2000. Ekspansi bisnis tidak begitu saja berhenti, lantas terus digenjot dan dinasti tembakau berusia 90 tahun tersebut mulai merambah lahan agrobisnis (PT. Sampoerna Agro), telekomunikasi (PT. Sampoerna Telekom) serta Transmarco, Ltd. Yang bermarkas di Singapura serta bisnis percetakan PT Sampoerna Printpack, dan untuk melengkapi semua itu terdapat pula bisnis gaya hidup seperti pada café & resto House of Sampoerna serta kepemilikan rumah judi terkenal di London, Les Ambassadeur atau Les A dan Mansion, perusahaan online gambling internasional yang mulai dirintis semenjak diakuisisi-nya PT. HM Sampoerna, Tbk. ke pangkuan perusahaan rokok terbesar di dunia Phillip Morris pada Maret 2005.


Usaha keluarga yang telah dilakoni oleh 4 generasi dalam satu dinasti “kerajaan tembakau” selama lebih dari 90 tahun telah membuahkan hasil Rp. 18.6 triliun pada saat Putera Sampoerna memutuskan untuk melepas perusahaan rokok yang telah dirintis oleh kakek-nya, Liem Seeng Tee, kepada perusahaan rokok terbesar dunia asal Amerika, Phillip Morris di bulan Maret 2005. Memang keputusan tersebut cukup menggemparkan jagat bisnis Indonesia, dan suka tidak suka semua mata tersorot kepada satu keluarga, keluarga Sampoerna. Dengan uang Rp. 18.6 triliun? Tunai! Tentu saja dapat dihitung dengan jari, mana saja keluarga yang mampu mengantongi uang sebegitu besar jumlah-nya.


Tanpa harus bekerja pun, Putera dan keluarga-nya lebih dari mampu dan sanggup untuk membiayai hidup dengan sangat mewah. Katakanlah, dengan asumsi semua uang nya didepositokan dengan bunga 5% per tahun, mereka masih mengantongi Rp. 77 miliar per bulan nya. Dengan jumlah uang ini lebih dari cukup untuk mencicipi hidup mewah a la raja. Namun, dapat dipastikan bukan gaya hidup semacam itu yang diimpikan oleh Liem Seeng Tee beserta keturunannya, dengan darah pengusaha dan jiwa entrepreneur yang kuat, mereka pasti ingin menciptakan nilai tambah dari uang tersebut.

Oke itu sekelumit cerita tentang keluarga Sampoerna dan bisnis rokoknya, next aku akan bahas tentang Raja Gula Oei Tiong Ham yang sempat menjadi orang terkaya di Indonesia. so blogger jangan lupa baca juga ya :)

No comments:

Post a Comment