Sunday, July 26, 2009

Luka Indonesia

Jumat 17 Juli 2009 adalah salah satu hari tersedih di Indonesia.
2 bom meledak pada pagi hari di kawasan Mega Kuningan, pada pukul 7:41 dan 5 menit berikutnya setelah bom meledak.
bom yang pertama berada di restoran Syailendra di Hotel JW Marriott, salah satu restoran prasmanan sedihnya ini bukan pertama kalinya untuk JW Marriott. pada bulan Agustus 2003, sebuah bom juga meledak di tempat yang sama seperti kemarin.

bom kedua di restauran Airlangga di Ritz Carlton Hotel, juga .. salah satu restoran prasmanan . Pagi itu di Ritz Carlton terdapat CEOs yang sedang melakukan rapat, diantaranya yang terkena ledakan CEO PT Holchim, Mr Timothy Mackay, (maaf atas disturbing image)







bukan hanya CEO, terdapat begitu banyak korban saat itu, mereka berkata, terdapat 16 orang asing yang menjadi korban, dan banyak orang Indonesia juga termasuk seorang gadis yang magang di Ritz Carlton, seorang siswa dari Pelita Harapan, dia adalah pendarahan telinga dan tidak dapat mendengar apapun.

Bom lain ditemukan di kamar nomor 1808 di Hotel JW Marriott, dan thank god it's been defused.

pukul 10,50 ada mobil lain pembakaran di Muara Angke




Waktu,itu Presiden pidato di Rumah Sakit MMC, setelah ia mengunjungi korban pemboman. ia sangat, sangat emosional bicara karena ia menyadari ia telah menjadi target misi pembunuhan, dan bersyukur sekarang Presiden telah menunjuk orang-orang yang berkepentingan untuk menangkap pelaku perbuatan terkutuk itu.

Sekarang, Indonesia bersatu untuk melawan teroris tanpa ada pemikiran racist, mari kita wujudkan Indonesia yang lebih baik untuk tempat tinggal. jika bukan kita, siapa lagi?

mari kita membuat indonesia bangga dan bangkit kembali, di bawah "sayap" pemerintahan SBY sekali lagi kita berkata, bahwa kita tidak takut terhadap terorisme, karena jika kita, semua orang Indonesia berkumpul dalam satu hati, kita akan menang.

dan ikut berbela sungkawa yang terdalam kepada keluarga korban.

Saturday, July 25, 2009

JAWABAN UAS MANAJEMEN STRATEGY

KASUS PADA PERUSAHAAN MINUMAN COCA COLA BOTTLING INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Di Indonesia, minuman ringan mudah sekali diperoleh di berbagai tempat, mulai dari warung sampai toko-toko kecil. Minuman ringan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen (LPEM Universitas Indonesia) dan sebuah perusahaan riset pemasaran DEKA menunjukkan bahwa
• Pada tahun 1999, 85% dari konsumen bulanan minuman ringan mempunyai pendapatan rumah tangga rata-rata di bawah Rp 1 juta (US$ 100) per bulan. 46% diantara mereka berpenghasilan kurang dari Rp 500.000 (US$50).
• 72% konsumen mingguan mempunyai penghasilan rata-rata kurang dari Rp 1 juta perbulan lebih dari 40 % diantara mereka adalah pelajar karyawan paruh waktu dan para pensiunan.
• Diantara konsumen mingguan, minuman ringan dikonsumsi sama seringnya dengan minuman sirup dan makanan ringan, dan jauh lebih sering dikonsumsi dibandingkan dengan es krim.

Dengan konsumsi minuman ringan yang sedemikian luasnya, produk minuman ringan bukanlah barang mewah melainkan barang biasa. Industri minuman ringan memiliki potensi yang amat besar untuk dikembangkan dengan jumlah konsumsi per kapita yang masih rendah dan penduduk berusia muda yang sangat besar.
Saat ini, Indonesia mencatat tingkat konsumsi produk-produk Coca-Cola terendah (hanya 13 porsi saji seukuran 236 ml per orang per tahun), dibandingkan dengan Malaysia (33), Filipina (122) dan Singapura (141). Karena minuman ringan merupakan barang yang permintaannya elastis terhadap harga, berbagai upaya dilakukan agar harga produk-produk minuman ringan tetap terjangkau.
Dibandingkan dengan Indonesia, konsumsi minuman ringan di negara tetangga jauh lebih tinggi (Indonesia:13; Malaysia:33; Filipina:122). Untuk ilustrasi, pada tahun 1977, konsumen bisa membeli 11 botol kecil minuman ringan mengandung soda atau teh siap minum dengan upah minimum harian di Jakarta dan 13 botol pada tahun 2001. Namun, sebagai perbandingan terhadap produk permen yang menaikkan harga, konsumen bisa membeli 205 permen dengan upah yang sama pada tahun 1997 dan hanya 136 pada tahun 2001.
Elastisitas harga minuman ringan terhadap permintaan adalah -1.19 yang berarti bahwa saat terjadi kenaikan harga, volume penjualan akan berkurang dengan prosentase yang lebih besar daripada prosentase kenaikan harga tersebut.
Ditinjau dari segi penciptaan kesempatan kerja, industri minuman ringan memiliki efek multiplier yang besar pada tenaga kerja. Dengan rasio sebesar 4,025, industri minuman ringan menduduki pringkat ke - 14 dari 66 sektor industri lainya di seluruh Indonesia. Ini berarti bahwa untuk setiap peluang pekerjaan yang tercipta, atau hilang, di industri minuman ringan, empat kesempatan kerja akan tercipta, atau hilang, di tingkat nasional.
Delapan puluh persen penjualan minuman ringan dilakukan oleh pengecer dan pedagang grosir dimana 90% diantaranya termasuk dalam kategori pengusaha kecil. Bagi para pengusaha kecil tersebut, produk minuman ringan merupakan barang dagangan terpenting mereka dengan kontribusi sebesar 35% dari total penjualan dan nilai keuntungan sebesar 34%.
Industri-industri penunjang lainnya yang terkena dampak kegiatan industri minuman ringan meliputi gelas, tutup botol, transportasi dan media.

1.2 Latar belakang perusahaan
Coca-Cola Bottling Indonesia merupakan salah satu produsen dan distributor minuman ringan terkemuka di Indonesia. Memproduksi dan mendistribusikan produk-produk berlisensi dari The Coca-Cola Company.

Perusahaan ini memproduksi dan mendistribusikan produk Coca-Cola ke lebih dari 400.000 outlet melalui lebih dari 120 pusat penjualan.
Coca-Cola Bottling Indonesia merupakan nama dagang yang terdiri dari perusahaan-perusahaan patungan (joint venture) antara perusahaan-perusahaan lokal yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha independen dan Coca-Cola Amatil Limited, yang merupakan salah satu produsen dan distributor terbesar produk-produk Coca-Cola di dunia.
Coca-Cola Amatil pertama kali berinvestasi di Indonesia pada tahun 1992. Mitra usaha Coca-Cola saat ini merupakan pengusaha Indonesia yang juga adalah mitra usaha saat perusahaan ini memulai kegiatan usahanya di Indonesia.

Produksi pertama Coca-Cola di Indonesia dimulai pada tahun 1932 di satu pabrik yang berlokasi di Jakarta. Produksi tahunan pada saat tersebut hanya sekitar 10.000 krat.
Saat itu perusahaan baru memperkerjakan 25 karyawan dan mengoperasikan tiga buah kendaraan truk distribusi. Sejak saat itu hingga tahun 1980-an, berdiri 11 perusahaan independen di seluruh Indonesia guna memproduksi dan mendistribusikan produk-produk The Coca-Cola Company. Pada awal tahun 1990-an, beberapa diantara perusahaan-perusahaan tersebut mulai bergabung menjadi satu.
Tepat pada tanggal 1 Januari 2000, sepuluh dari perusahaan-perusahaan tersebut bergabung dalam perusahaan-perusahaan yang kini dikenal sebagai Coca-Cola Bottling Indonesia.
Saat ini, dengan jumlah karyawan sekitar 10.000 orang, jutaan krat produk kami didistribusikan dan dijual melalui lebih dari 400.000 gerai eceran yang tersebar di seluruh Indonesia.

Rangkaian produk Coca-Cola Bottling meliputi empat dari lima merek terkenal di dunia saat ini, seperti Coca-Cola, diet Coke, Fanta, dan Sprite. Produk-produk ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat konsumen Indonesia dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Juga memproduksi dan mendistribusikan teh siap minum bermerek Frestea, Sunfill dan minuman mengandung soda bermerek Schweppes.
Semua fungsi dan jajaran organisasi, mulai dari produksi, pemasaran, distribusi, keuangan, layanan pelanggan dan konsumen, bekerja keras untuk mengembangkan praktek-praktek yang terbaik di industri minuman.
The Coca-Cola Quality System merupakan landasan kebijakan perusahaan terhadap pengawasan mutu - yang memotivasi kami untuk bertindak memenuhi dan bahkan melampaui berbagai standar kualitas, baik itu merupakan standar internasional maupun standar yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Industri makanan dan minuman.
Perusahaan memiliki Consumer Response Teams dan program-program yang dilaksanakan di semua area operasi di seluruh Indonesia untuk menampung setiap masukan yang disampaikan oleh para konsumen dan pelanggan, yang kemudian meneruskan masukan tersebut kepada pihak-pihak yang tepat di dalam perusahaan untuk menjamin bahwa standar kualitas yang tinggi tetap terjaga.

1.2.1 Kepedulian Lingkungan
Perusahaan sangat terpacu untuk melahirkan semangat serupa terhadap usaha-usaha yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja. Ini berarti, upaya berkesinambungan untuk menggali cara-cara baru dan lebih baik untuk meningkatakan kinerja di bidang pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja.
Sebelum membuang limbah ke sungai, perusahaan mengolah limbah sehingga tidak merusak biota sungai.
Semua pabrik melaksanakan audit secara berkala dan menjalankan praktek-praktek terbaik di bidang perlindungan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja - mulai dari pengelolaan dan pemanfaatan kembali limbah produksi hingga berbagai program kesehatan dan keselamatan kerja.
PT Coca-Cola Bottling Indonesia memiliki komitmen untuk senantiasa memahami, mencegah dan memperkecil setiap dampak buruk terhadap lingkungan sehubungan dengan kegiatan produksi minuman ringan, serta terus berupaya memberikan pelayanan dan produk berkualitas yang diharapkan konsumen maupun pelanggan, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi seluruh karyawan.
Seluruh karyawan PT Coca-Cola Botting Indonesia dan setiap orang yang tergabung di dalam perusahaan, serta semua mitra kerjanya, bersama-sama memainkan peranan penting dalam menerapkan kebijakan Perusahaan di bidang perlindungan lingkungan ini. Untuk itulah maka perusahaan berupaya membekali para karyawan agar mampu melibatkan diri mereka sepenuhnya, agar mereka senantiasa :
berusaha sebaik mungkin mencapai kinerja di bidang perlindungan lingkungan dengan memenuhi persyaratan dari The Coca-Cola Company dan Peraturan Perundangan yang berlaku;
senantiasa memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam menyusun Business Plan (Perencanaan Bisnis) untuk memastikan bahwa pengelolaan masalah lingkungan selalu menjadi bagian yang integral dari Operasi Perusahaan;

menerapkan dan mempertahankan sistem manajemen lingkungan terprogram, serta terus menerus menyempurnakan dan meninjaunya agar senantiasa sejalan dengan operasi perusahaan;

mendorong dan membekali karyawan agar mampu mengenali, memahami dan bertindak pada setiap peluang yang ada untuk mencegah dan memperkecil setiap dampak negatif yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan;

mengembangkan dan menerapkan cara-cara meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya, termasuk energi, bahan kimia, air, kemasan dan bahan baku lainnya;

sedapat mungkin mencegah, mengurangi, menggunakan kembali dan mengolah semua limbah yang ditimbulkan di dalam area kita sendiri, serta menjamin prosedur pembuangan
limbah tersebut dengan cara yang aman dan berdampak yang seminimal mungkin; dan
meminta para pemasok dan rekanan bisnis agar memenuhi standar pengelolaan lingkungan yang setara dengan yang kita anut.

1.2.2 Inovasi bisnis
Pengembangan pendekatan manajemen Sistem Informasi (Information System / IS) yang terarah pada organisasi coca-cola bottling merupakan bentuk pengaruh evolusi teknologi terhadap dunia usaha dewasa ini. Peran penting sistem informasi terhadap kinerja bisnis kami, pengembangan sumber daya manusia dan nilai tambah lainnya, terutama bagi pemegang saham, membutuhkan tim yang berdedikasi tinggi dan profesional dalam bidang manajemen sistem informasi.
Tantangan akan muncul sesuai dengan kebutuhan. Setiap tantangan harus ditangani sesuai prioritas guna menjamin kepuasan terhadap jasa layanan pelanggan dalam skala bisnis yang luas. Perusahan ini menggunakan sistem terintegrasi yang menghubungkan seluruh aspek bisnis. Terlepas dari fokus dari aktifitas baik berupa supply chain, financial, atau yang berhubungan langsung dengan kegiatan penjualan, manfaat dari sistem informasi akan dirasakan oleh seluruh komunitas bisnis Coca-Cola Bottling.
Salah satu manfaat terpenting dari investasi CCBI pada teknologi sistem informasi selama lima tahun terakhir adalah dengan meningkatnya kemampuan karyawan di seluruh level organisasi Coca-Cola Bottling.
Masa depan akan menjelang. Teknologi akan terus berkembang dan menciptakan peluang baru untuk peningkatan produktifitas sumber daya manusia.
Kemampuan karyawan untuk menggunakan informasi akan terus meningkat, kualitas infrastruktur publik akan meningkat, dan pelanggan akan membangkitkan kebutuhan akan layanan baru seiring kemajuan teknologi. Seluruh hal tersebut membutuhkan dukungan dari tim yang profesional dalam organisasi kami.
Departmen IS akan melanjutkan kemitraannya dengan pimpinan dari setiap lini bisnis internal,
serta ikut membantu proses evolusi guna meningkatkan kualitas investasi sistem informasi di perusahaan, dan pada akhirnya untuk meningkatkan layanan terhadap pelanggan.
Adalah filosofi dan komitmen perusahaan untuk menjadi bagian integral di setiap kelompok masyarakat di mana perusahaan melaksanakan kegiatan usaha. Perusahaan aktif memberikan kontribusi kepada masyarakat baik melalui aktifitas bisnis kami sehari-hari, maupun melalui berbagai kegiatan hubungan masyarakat yang bermanfaat dan memberikan dampak langsung bagi kehidupan masyarakat.

1.2.3 Hubungan Masyarakat
Kegiatan perusahaan di seluruh Indonesia berdampak langsung pada kehidupan dan kesejahteraan ribuan pemasok lokal, pelanggan dan karyawan yang berasal dari masyarakat sekitar. Setiap tahun melaksanakan program bantuan kemasyarakatan untuk masyarakat setempat dalam bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan prasarana, serta menyalurkan bantuan dalam berbagai bentuk kepada kelompok-kelompok masyarakat membutuhkan sesuai kemampuan perusahaan.
Bantuan tersebut antara lain berbentuk pembagian produk-produk perusahaan kepada berbagai organisasi, pemberian beasiswa bagi anak-anak kurang mampu dan akses kepada masyarakat sekitar untuk menggunakan poliklinik kami.
Adalah filosofi dan komitmen kami untuk menjadi bagian integral di setiap kelompok masyarakat di mana kami melaksanakan kegiatan usaha. Kami aktif memberikan kontribusi kepada masyarakat baik melalui aktifitas bisnis kami sehari-hari, maupun melalui berbagai kegiatan hubungan masyarakat yang bermanfaat dan memberikan dampak langsung bagi kehidupan masyarakat.

Kegiatan perusahaan Coca-cola di seluruh Indonesia berdampak langsung pada kehidupan dan kesejahteraan ribuan pemasok lokal, pelanggan dan karyawan yang berasal dari masyarakat sekitar. Setiap tahun kami melaksanakan program bantuan kemasyarakatan untuk masyarakat setempat dalam bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan prasarana, serta menyalurkan bantuan dalam berbagai bentuk kepada kelompok-kelompok masyarakat membutuhkan sesuai kemampuan perusahaan.
Bantuan tersebut antara lain berbentuk pembagian produk-produk kami kepada berbagai organisasi, pemberian beasiswa bagi anak-anak kurang mampu dan akses kepada masyarakat sekitar untuk menggunakan poliklinik kami.
Pada bulan Agustus 2000, Coca-Cola Bottling Indonesia dan Coca-Cola Indonesia memprakarsai berdirinya yayasan sosial bernama Coca-Cola Foundation Indonesia (CCFI). Misi utama yayasan ini adalah membantu penyediaan kesempatan belajar bagi anak-anak dan remaja Indonesia agar dapat menjadi warga negara yang produktif serta berwawasan luas.
Demi membantu dunia pendidikan, CCFI melaksanakan serangkaian kegiatan untuk memfasilitasi sarana belajar alternatif guna mengakomodasi kebutuhan pendidikan bagi para siswa maupun anak putus sekolah. Tiga program besar yang telah dicetuskan adalah: Program Community Learning Center, Program Lokakarya Penulisan Cerita Anak dan Program Pelatihan yang berkelanjutan.
Program Community Learning Center (Rumah Belajar Masyarakat) merupakan salah satu wujud nyata upaya CCFI dalam mengembangkan perpustakaan umum agar dapat menjadi sarana alternatif tempat belajar bagi masyarakat. Hal tersebut dicapai melalui beberapa cara yaitu: mendidik para staf perpustakaan agar mereka lebih berorientasi pada pembaca, peremajaan sarana perpustakaan agar lebih menarik dan menyelenggarakan program-program edukatif di perpustakaan untuk menarik minat pengunjung.
Selain itu, tiga program besar lain telah dicanangkan untuk memberdayakan Learning Center binaan CCFI.
Pertama, Program Digital Divide. Melalui program ini, CCFI melengkapi fasilitas Learning Centernya dengan perangkat komputer modern. Selain itu, para pengelola Learning Center dibina menjadi tenaga handal yang dapat mengajarkan manfaat belajar komputer dengan cara yang menyenangkan bagi anak dan remaja yang datang ke Learning Center.
Kedua, Program Lingkungan Hidup. Bekerja sama dengan organisasi lingkungan, CCFI mengembangkan seri buku pendidikan Keanekaragaman Hayati Indonesia, yang disebarluaskan di setiap Learning Center dan perpustakaan sekolah.
Ketiga, Program HIV/AIDS. CCFI memasukkan program pendidikan tentang HIV/AIDS di Learning Center binaannya di empat kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Kegiatan diawali dengan pelatihan para mentor yang terdiri dari pengelola Learning Center dan beberapa aktifis HIV/AIDS, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan komunikasi bagi remaja di sekitar Learning Center.

1.2.4 Inisiatif Lokal lainnya
Komitmen sosial Coca-Cola Bottling Indonesia juga diwujudkan melalui berbagai kegiatan sosial lainnya yang dilakukan bagi masyarakat di sekitar pabrik dan kantor-kantor penjualannya di berbagai daerah di Indonesia.
Keinginan untuk membantu meringankan beban hidup sesama, menyantuni yang kurang mampu, dan harapan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, menjadi latar belakang dilaksanakannya berbagai kegiatan sosial, sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk memfokuskan bantuannya, Coca-Cola memfokuskan pada tujuh bidang utama, yaitu: pendidikan, lingkungan, bantuan atas pembangunan infrastruktur publik, event-event nasional dari berbagai organisasi kepemudaan dan pemerintah, kebudayaan, kesehatan dan olahraga, dan bantuan bagi korban bencana alam.
Dibidang pendidikan, misalnya, selain melalui Coca-Cola Foundation Indonesia, Coca-Cola Bottling Indonesia memberikan bantuan beasiswa bagi banyak pelajar Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Setiap tahun Coca-Cola Research Grant juga memberikan bea siswa penelitian bagi mahasiswa S2 dan S3 di beberapa kota besar di Indonesia.
Adanya keterbatasan kemampuan pengusaha di sektor informal (pengusaha mikro) dalam mengelola usahanya mendorong Coca-Cola Bottling Indonesia mewujudkan kepedulian sosialnya dengan memprakarsai program ekonomi kemasyarakatan berbentuk program pengembangan usaha mikro (Coca-Cola Micro Enterprise Development Program).
Program pendampingan dan pendidikan bagi kelompok usaha ekonomi lemah ini diluncurkan pada Juli 2003 lalu dan memiliki dua elemen pokok bantuan.
Pertama, bantuan teknis (technical assistance) pengembangan dan pendampingan usaha mikro yang didukung sepenuhnya oleh Coca-Cola selama satu tahun. Pendampingan ini dimaksudkan untuk memberdayakan anggota kelompok, meningkatkan jumlah tabungan atas kesadaran sendiri, serta mengembangkan kegiatan usaha produktif anggota dan pengembangan jaringan usaha.
Kedua, akses terhadap modal kerja yang diberikan oleh lembaga pembiayaan independen atau bank (diluar Coca-Cola). Pelayanan keuangan mikro seperti ini diberikan hanya bagi mereka yang memenuhi kriteria ketat, antara lain: secara rutin memiliki kesadaran berkelompok dan berkembang dalam kelompok, secara rutin dan tepat waktu menabung, serta berdomisili tetap. Dalam melaksanakan dua pelayanan tersebut, Coca-Cola bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat "Bina Swadaya", sebuah lembaga nirlaba yang berpengalaman dalam mengelola program sejenis di berbagai daerah di Indonesia.
Program ini telah berhasil dikembangkan di Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dan kini telah melayani lebih dari 320 orang pengusaha mikro. Menurut rencana, program serupa akan dikembangkan tahun ini di Propinsi Jawa Timur.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Isi dan Pembahasan dengan Menggunakan Kerangka Empat Teori
2.1.1 Analisis lingkungan eksternal

Analisis lingkungan eksternal akan menghasilkan peluang dan ancaman perusahaan. Lingkungan eksternal perusahaan terdiri dari tiga perangkat faktor, yaitu lingkungan jauh, lingkungan industri dan lingkungan operasional. Lingkungan jauh terdiri dari dari faktor-faktor yang bersumber dari luar, dan biasanya tidak berkaitan dengan situasi operasi perusahaan tertentu, yaitu faktor ekonomi, sosial-budaya, teknologi, demografi, politik-hukum, dan ekologi. Lingkungan industri terdiri dari persaingan diantara anggota industri, hambatan masuk, produk substitusi, daya tawar pembeli dan daya tawar pemasok. Lingkungan operasional meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi situasi persaingan perusahaan, yaitu posisi bersaing, profil pelanggan, pemasok, kreditor, dan pasar tenaga kerja.
Ketiga faktor tesebut memunculkan peluang dan ancaman dalam memasarkan produk secara menguntungkan. Misalnya, Coca-Cola pada tahun 1993 melakukan analisis lingkungan jauh, mendapatkan hasil sebagai berikut :
- Semakin meningkatnya pendapatan disposabel, penjualan Coca- Cola akan meningkat,
- Inflasi mempengaruhi keberhasilan Coca-Cola
- Konsumsi minuman ringan berbanding terbalik dengan usia seseorang, artinya semakin tua, semakin berkurang minum minuman ringan, sebaliknya kelompok muda yang paling banyak minum minuman ringan.
- Teknologi membuat dunia semakin sempit, sehingga muncul nya pasar “kaum muda” baru yang lebih mudah dijangkau.
Dari lingkungan industri Coca-Cola menghasilkan :
- Coca-Cola mendapat persaingan yang kuat dari Pepsi
- Bahan baku utama Coca-Cola adalah sirup jagung berkadar fruktosa tinggi, sejenis gula, untuk di Amerika Serikat dapat dipasok oleh sebagian besar sumber domistik. Untuk diluar Amerika Serikat dapat diganti sukrosa. Bahan lain adalah aspartam, bahan pemanis yang digunakan dalam produk minuman ringan rendah kalori diperoleh dari The Nutra Sweet Company.
- Pembeli minuman ringan adalah perorangan dan para pembotol yang memperoleh hak waralaba.
- Ada banyak minuman substutusi dari minuman ringan yang populer , antara lain minuman sitrus (citrus beverage), sari buah (fruit juice)

2.1.2 Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkuangan internal akan menghasilkan kekuatan dan kelemahan perusahaan. Analisis Internal Perusahaan dikenal juga dengan nama Analisis Profil Perusahaan. Analisis ini menggambarkan kekuatan perusahaan, baik kuantitas maupun kualitas pemasaran, sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, operasi, keungan, manajemen dan organisasi.
Kekuatan dan kelemahan Pemasaran dapat dilihat dari reputasi perusahaan, pangsa pasar, kualitas produk, kualitas pelayanan, efektifitas penetapan harga, efektifitas distribusi, efektifitas promosi, kekuatan penjualan, efektifitas inovasi dan cakupan geografis.
Kekuatan dan kelamahan sumberdaya manusia dapat ditunjukkan dari manajemen sumberdaya manusia, ketrampilan dan moral karyawan, keemampuan dan perhatian manajemen puncak, produktivitas karyawan, kualitas kehidupan karyawan, fleksibilitas karyawan, ketaatan hokum karyawan, efektivitas imbalan dalam memotivasi karyawan, dan pengalaman karyawan.
Keuangan terdiri dari ketersediaan modal, arus kas, stabilitas keuangan, hubungan dengan pemilik dan investor, kemampuan berhubungan dengan bank, besarnya modal yang ditanam, keuntungan yang diperoleh (nilai saham), efektivitas dan efisiensi system akuntansi untuk perencanaan biaya-anggaran dan keuntungan dan sumber tingkat perusahaan.
Operasi meliputi fasilitas perusahaan, skala ekonomi, kapasitas produksi, kemampuan berproduksi tepat waktu, keahlian dalam berproduksi, biaya bahan baku dan ketersediaan pemasok, lokasi, layout, optimalisasi fasilitas, persediaan, penelitian dan pengembangan, hak paten, merk dagang, proteksi hukum, pengendalian operasi dan efisiensi serta biaya-manfaat peralatan.
Kekuatan dan kelemahan organisasi dan manajemen dapat diperoleh dari struktur organisasi, citra dan prestasi perusahaan, catatan perusahaan dalam mencapai sasaran, komunikasi dalam organisasi, system pengendalian organisasi keseluruhan, budaya dan iklim organisasi, penggunaan system yang efektif dalam pengambilan keputusan, system perencanaan strategic, sinergi dalam organisasi, system informasi yang baik dan manajemen kualitas yang baik.
Kekuatan
• Pengakuan equitas merek
• Produk distribusi dan jaringan di seluruh dunia
• Solid kinerja keuangan
• Merek diakui
• Produk diversifikasi (air, juices, soft drinks, minuman olahraga, dll)
• Kredit rating
• Banyak pelanggan setia Coca Cola.
Kesempatan
• Kredit rating
• Banyak pelanggan setia Coca Cola.
peluang
• Akuisisi pemain yang lebih kecil
• Kesehatan pertumbuhan kesadaran, khususnya generasi sekarang
Ancaman
• Komoditi pertumbuhan harga
• Lebih cepat pemain baru masuk
• Kunci kompetitor (Pepsi, dll)

2.1.3 Perumusan Sasaran
Setelah itu perusahaan melakukan Analisis SWOT, kelemahan, peluang dan ancaman yang dikenal juga dengan Analisis SWOT, lalu sasaran menjelaskan tujuan-tujuan yang spesifik dalam jumlah dan waktu. Dengan demikian sasaran memudahkan untuk perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Sasaran perusahaan dapat berupa profitabilitas, posisi pasar, produktivitas, kepemimpinan teknologi, pengembangan sumberdaya manusia, hubungan antar karyawan dan tanggungjawab sosial.
Sedikit sekali usaha yang hanya memiliki satu tujuan. Sebagian besar unit usaha memiliki bauran tujuan yang mencakup laba, pertumbuhan penjualan, peningkatan pangsa pasar, pembatasan risiko, inovasi reputasi, dan sebagainya. Unit usaha menentukan tujuannya dan melakukan pengelolaan usaha sesuai tujuan tersebut (Management By Objectives-MBO). Agar sistem MBO dapat bekerja dengan baik, tujuan-tujuan unit usaha harus memenuhi empat kriteria :
• Pertama tujuan harus diurutkan secara hirarkis, dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Sebagai contoh tujuan utama unit usaha untuk suatu periode mungkin dapat berupa peningkatan tingkat pengembalian investasi. Ini dapat dicapai dengan meningkatkan laba dan atau mengurangi biaya. Pendapatan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pangsa pasar dan/atau harga jual. Dengan terus melakukan ini, unit usaha dapat bergerak dari tujuan umum ke tujuan khusus untuk departemen dan individu tertentu.
• Kedua, tujuan harus dapat dinyatakan secara kuantitatif apabila dimungkinkan. Tujuan ‘meningkatkan tingkat pengembangan investasi (return On Investment-ROI)” lebih baik dinyatakan sebagai sasaran “meningkatkan ROI menjadi 15 %, atau lebih baik lagi, “meningkatkan ROI menjadi 15 % dalam dua tahun.
• Ketiga, sasaran – sasaran harus realitis. Sasaran-sasaran seharusnya dihasilkan dari analisa peluang dan kekuatan unit usaha yang bersangkutan, bukan berdasarkan angan-angan saja.
• Yang terakhir, tujuan-tujuan perusahaan harus konsisten. Tidak mungkin memaksimalkan baik penjualan maupun laba secara serentak.
Dilema penting lainnya mencakup antara laba jangka pendek versus pertumbuhan jangka panjang, penetrasi pasar yang ada versus pengembangan pasar baru, sasaran laba versus sasaran nirlaba, pertumbuhan tinggi versus risiko rendah. Setiap pilihan dalam kelompok dilema sasaran ini memerlukan strategi pemasaran yang berbeda.

2.1.4 Perumusan Strategi dan Program
Sasaran menunjukkan apa yang ingin dicapai suatu unit usaha, strategi adalah suatu rencana permainan untuk mencapainya. Setiap usaha harus merancang strategi untuk mencapai tujuannya. Walaupun banyak macam strategi yang tersedia. Michael Porter telah merangkumnya menjadi tiga jenis umum yang memberikan awal yang bagus untuk pemikiran strategis : keunggulan biaya secara keseluruhan, diferensiasi, dan fokus.
Langkah-langkah dalam Strategi Pemasaran
Strategi Pemasaran merupakan proses lima tahap, yang terdiri dari Analisis Situasi Strategis, Perancangan Strategi Pemasaran, Pengembangan Program Pemasaran dan Implementasi dan Pengelolaan Strategi Pemasaran. Gambar di bawah memperlihat tahapan proses strategi pemasaran.

Analisis situasi strategi meliputi memenangan pasar melalui perencanaan strategis berorientasi pasar, mengumpulkan informasi dan mengukur permintaan pasar, mencari peluang di lingkungan pemasaran, menganalisis pasar konsumen dan perilaku pembeli, menganalisis pasar komunitas internet, menganalisis pasar bisnis dan perilaku pembelian bisnis, menghadapi pesaing dan mengidentifikasi segman pasar dan memilih pasar sasaran. Perancangan strategi pemasaran mencakup menentukan posisi dan mendeferensiasi pasar, strategi hubungan pemasaran dan perencanaan produk baru. Pengembangan program pemasaran mencakup menetapkan strategi produk, strategi harga, strategi distribusi dan strategi promosi. Implementasi dan Pengelolaan strategi mencakup merancang organisasi pemasaran yang efektif, implementasi dan pengendalian strategi.

2.1.5 Kekuatan dan Kompetensi
Kekuatan atau kompetensi PT. Coca-Cola Bottling Indonesia adalah Riset and Development yang intensif, Brand Image, loyalitas konsumen, keadaan distribusi dan pangsa pasar, dan SDM yang besar dan terlatih.
1. Brand image yang sudah dikenal luas Coca-cola memiliki brand image yang kuat di pasaran Indonesia. Status coca-cola sebagai produsen minuman bersoda besar di Indonesia menjadi jaminan mutu bagi kesetiaan dan loyalitas konsumen.
2.Riset and Development yang intensif Inovasi adalah salah satu kunci keberhasilan yang menjadikan Coca-Cola Indonesia semakin besar, dikenal luas, serta memberikan kontribusi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Melalui riset dan pengembangan (Research & Development), Coca-Cola terus berinovasi untuk menciptakan produk, kemasan, strategi pemasaran, serta perlengkapan penjualan baru yang lebih berkualitas, kreatif, serta mempunyai ciri khas tersendiri.Dengan memahami kebutuhan dan perilaku konsumen, serta potensi kekayaan alam Indonesia, Coca-Cola berinovasi dengan menciptakan produk-produk baru yang menjadikan
produk minuman cepat saji Coca-Cola mempunyai rasa dan pilihan yang beragam. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara lebih spesifik, pada tahun 2002 Coca-Cola meluncurkan AQUARIUS, minuman isotonik yang diperuntukkan bagi mereka yang aktif dan gemar berolahraga. Pada tahun yang sama, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Frestea, teh dalam kemasan botol dengan aroma bunga melati yang khas. Pada tahun 2003, Fanta menghadirkan campuran dua rasa buah, orange dan mango, yang disebut “Fanta Oranggo”, setelah pada tahun sebelumnya sukses meluncurkan Fanta Nanas. Pada tahun ini pula, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Sunfill – produk minuman Sirup dan Serbuk instan rasa buah. Dengan inovasi, Coca-Cola yakin bahwa produk-produk yang ditawarkan akan mampu memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia.

Selain berinovasi pada produk-produk baru, Coca-Cola juga mencoba mengembangkan desain kemasan minuman, serta meningkatkan kualitasnya. Setelah meluncurkan Frestea dalam kemasan botol, pada akhir tahun 2002, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Frestea dalam kemasan Tetra Wedge yang lebih mudah dan praktis untuk dibawa. Pada akhir 2003, Coca-Cola, Sprite, dan Fanta hadir dalam kemasan kaleng ramping baru yang unik. Pada tahun 2004 ini, Coca-Cola hadir dengan inovasi terbaru yaitu botol gelas berbobot lebih ringan 30 % dengan desain mungil, imut, tapi kuat. Inovasi kemasan produk akan terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru.
Strategi pemasaran Coca-Cola mempunyai ciri khas tersendiri, yang unik dan kreatif. Berbagai program promosi diadakan sesuai dengan event yang sedang berlangsung, baik melalui konser musik, pameran, promo penukaran tutup botol, hadiah kejutan, maupun iklan TV. Pada tahun 2004 ini, iklan Coca-Cola versi Kabayan dinobatkan sebagai iklan paling efektif dalam bulan Pebruari dan Maret versi survey TV Ad Monitor MRI. Promo Coca-Cola juga memanfaatkan momentum tertentu, misalnya: Demam Piala EURO 2004. Dengan memanfaatkan event berskala nasional maupun internasional, Coca-Cola mencoba tampil dengan strategi pemasaran baru yang menarik masyarakat.
Selain berinovasi dalam produk, kemasan, dan strategi pemasaran; perlengkapan penjualan baru juga dikembangkan ke arah yang lebih baik. Berkaitan dengan inovasi ini, Coca-Cola Indonesia menciptakan jenis krat baru yang lebih ringan, dibuat dari bahan yang ramah lingkungan.
Kunci sukses inovasi tersebut adalah kolaborasi yang baik antara Coca-Cola Bottling Indonesia dan Coca-Cola Company, pengembangan varian minuman cepat saji
3. Ramuan rahasia yang tidak dimiliki produk lain Sari rasa untuk coca-cola dibuat di pabrik-pabrik the coca-cola company dan sampai sekarang tetap merupakan rahasia dagang terbesar didunia
4.Sumberdaya manusia yang besar dan terlatih Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu focus utama manajemen dalam menyiapkan tenaga kerja yang handal, dinamis dan penuh dedikasi. Sasaran PT. Coca – cola tak lain ialah memberi layanan yang prima dan memuaskan kepada lebih dari 200 juta konsumen melalui sekitar 400,000 pelanggan yang tersebar di seluruh Indonesia. PT. Coca – cola menyadari bahwa untuk meraih semua peluang yang ada, memberikan layanan yang terbaik kepada para pelanggan, dan untuk dapat mengahadapi tantangan lingkungan bisnis yang kompetitif, tim-tim PT. Coca – cola perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta sikap yang tepat.
Selama sejarah keberadaan Coca-Cola di Indonesia yang cukup lama, PT. Coca – cola tetap menyelenggarakan berbagai pelatihan serta mengembangkan SDM untuk menjamin bahwa kemampuan bisnis perusahaan senantiasa memenuhi tuntutan pasar, dan para karyawan mampu menghasilkan apa yang diharapkan dari mereka. Sementara itu, PT. Coca – cola juga secara berkesinambungan merekrut tenaga-tenaga muda berpotensi untuk menduduki posisi-posisi penting di masa mendatang.

PT. Coca – cola memiliki satu tim khusus yang bertugas meningkatkan keterampilan-keterampilan fungsi teknis, bidang manajemen dan kepemimpinan karyawan. Tim tersebut didukung dan disertifikasi oleh sejumlah lembaga pelatihan dan pengembangan SDM internasional. Diantaranya terdapat The Coca-Cola Company, Coca-Cola Amatil dan beberapa lembaga internasional lainnya. PT. Coca – cola menghadirkan kelompok fasilitator baik dari dalam organisasi sendiri, maupun dari lingkungan luar yang memiliki kepiawaian bisnis yang tajam, pengalaman kerja langsung dalam bidang-bidang terkait, serta yang jauh lebih penting, “menjiwai pendidikan”.
5.Pelayanan terhadap pelanggan dan consumen Coca-cola bottling Indonesia menyediakan layanan National contact centre (NCC), yaitu pusat layanan bagi pelanggan dan konsumen diseluruh Indonesia. NCC berfungsi sebagai media bagi pelanggan atau konsumen untuk mendapatkan layanan dan informasi yang terkait denan perusahaan dan produk Coca-cola.
Layanan NCC meliputi
1. layanan pelanggan yang mencakup permohonan menjadi pelanggan, alat pendingin, pemesanan produk, serta hal lain yang terkait dengan distribusi dan penjualan
2. Layanan Konsumen yang meliputi informasi produk, kualitas produk dan kemasan, kegiatan promosi produk.
3. Pertanyaan umum yang mencakup penelitian, praktek kerja dan lowongan.
6.Strategi Pemasaran
Strategi pemasaran Coca-cola memiliki cirri khas tersendiri yang unik dan kreatif. Berbagai program promosi diadakan sesuai even yang sedang berlangsung. Baik melalui konser musik, pameran, promo penukaran tutup botol. Hadiah kejutan maupun iklan tv
7.Sistem informasi yang memadai pengembangan pendekatan manajemen system informasi yang terarah pada organisasi merupakan bentuk pengaruh evolusi tekhnologi terhadap dunia usaha dewasa ini

Referensi :
http://strategik.fe.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/analisis-kasus-coca-cola-company.pdf
http://www.coca-colabottling.co.id

JAWABAN UAS MANAJEMEN PEMASARAN

1. Dalam merancang sistem distribusi yang akan dilakukan untuk produk makanan, menurut anda mana yang lebih membantu : Apakah informasi mengenai Demografi Konsumen atau Perilaku Konsumen ? Atau anda mempunyai pendapat lain. Silahkan berikan contohnya.

Jawaban : Dalam merancang sistem distribusi yang akan dilakukan untuk produk makanan, informasi mengenai Perilaku Konsumen maupun informasi mengenai Demografi Konsumen kedua-duanya akan lebih membantu. Karena dalam usaha menawarkan suatu produk makanan ataupun produk lainnya ke pasar, perusahaan harus menyadari bahwa tidaklah mungkin semua orang akan menyukai satu produk tertentu. Ketidaksamaan ini muncul karena adanya perbedaan Lingkungan Geografis (seperti Wiilayah, Propinsi, Kabupaten atau Perkotaan dan Pedesaan), Demografi (seperti jenis kelamin, usia, tingkat penghasilan, ukuran keluarga dan tingkat pendidikan), Psikografi (seperti gaya hidup, kepribadian dan nilai), dan perilakunya (seperti kesempatan khusus, manfaat khusus, status pemakai dan tingkat pemakaian). Persaingan adalah era bisnis saat ini. Persaingan ditandai dengan keanekaragaman. Keberagaman manusia yang berbeda budaya, berbeda prilaku, berbeda kebutuhan dan berbeda keinginan. Perbedaan-perbedaan ini perlu penanganan yang spesifik bila perusahaan ingin berhasil. Konsep penanganan ini membawa kita pada Segmentasi Pasar. Untuk memilih segmen mana yang hendak dilayani, Kohler mnenyarankan ada 5 pilihan, yaitu :
1. Konsentrasi pada satu segmen ( Single Segment Concentration)
2. Spesialisasi selektif (Selective Specialization)
3. Spesialisasi produk (Product Specialization)
4. Spesialisasi pasar (Market Specialization)
5. Peliputan seluruh pasar (Full Market Coverage)
Oleh karena itu, informasi mengenai Demografi Konsumen dan Perilaku Konsumen terasa semakin dibutuhkan di zaman kompetisi. Hal ini disebabkan karena bermunculan banyaknya produsen, membanjirnya penjual, maraknya periklanan dan lain-lain. Dengan memahami Demografi dan Perilaku konsumen, kita akan memahami bagaimana konsumen melakukan proses pembelian. Apa saja yang dilakukan konsumen sebelum mereka melakukan pembelian dan tahapan – tahapan apa saja yang terjadi sampai seorang konsumen mengambil keputusan untuk membeli.
contoh peran demografi konsumen dan perilaku konsumen pada produk mie instan yang saat ini sangat dikenal luas.
Makanan cepat saji dan praktis ini dikemas dalam berbagai bentuk dan dirancang dengan berbagai rasa lokal kedaerahan yang ditujukan pada berbagai segmen pasar dan terkait gaya hidup masyarakat menengah ke bawah, khususnya yang hidup di perkotaan di berbagai wilayah di Indonesia. Produk ini berhasil masuk ke berbagai segmen masyarakat masa kini yang sangat sibuk dan tidak lagi cukup waktu bagi mereka untuk memasak.

2. Apa pengalaman anda yang terbaik atau sebaliknya amat tidak baik mengenai suatu produk yang pernah anda beli dan sekaligus dikonsumsi. Bahaslah bagaimana hal ini membentuk keyakinan anda mengenai produk itu. Apa kebaikan dan kelemahan dari produk tersebut ?

Jawaban : Pengalaman saya yang terbaik ketika mengunjungi kedai kopi internasional starbuck ketika singgah di Jakarta tepatnya di Gerai Pondok Indah Mall, dimana kopi biasa bisa diramu sedemikian rupa menjadi suatu pengalaman luar biasa, sehingga tidak merasa rugi mengeluarkan uang puluhan ribu rupiah untuk menikmati sensasi minum kopi di starbuck.
Kesuksesan Starbucks didorong oleh orang-orang yang bekerja di sana-para mitra-dan pengalaman spesial yang mereka ciptakan untuk masing-masing pelanggan. Cara Starbucks dalam menggapai seluruh komunitas, mendengarkan para pekerja dan pelanggan secara individual, merangkul peluang pertumbuhan dalam setiap pasar, menciptakan pengalaman unik yang benar-benar memuaskan dan menguntungkan bagi semua orang yang terlibat. Kita bisa memesan latte sesuai keinginan kita seperti jangan terlalu manis tambah susu atau caramel, di regular cup misalnya.

Starbucks diinspirasi oleh 5 pilihan perilaku: lakukan dengan cara anda, semuanya penting, surprise and delight, terbuka terhadap kritik dan leave your mark. Prinsip yang sangat empatis, bermakna keluar, meluber, tidak sekedar meng-up grade keunggulan personal, yang sangat individual namun sebaliknya.
Starbuck yang logonya besar menyolok di pinggir jalan strategi, Starbuck orang-orang bercelemek hijau yang bersedia mencarikan buku kita yang ketinggalan di salah satu meja kedai setelah berlama-lama mengobrol disana. Orang-orang yang tersenyum pada anda setiap pagi dari belakang meja konter, ketika kita memesan kopi sepulang kampus atau kantor. Karyawan Starbuck secara otomatis akan memungut bugkus permen karet dan kaleng soda yang tercecer di lantai sambil terus mengobrol dengan kita tentang keadaan kita dan cuaca yang tak bersahabat. Ini bukan sebuah ramuan ajaib untuk kesuksesan bekerja atau berbisnis, sebuah konsep pemasaran yang membuat nyaman kita.
Sayang di Indonesia, jiwa belum mendapat porsi karena raga masih berjuang demi kepatutannya. Starbucks dengan konsep melayani jiwa hanya dialami oleh mereka kaum menengah atas, yang tidak lagi lapar soal raga. Itulah mengapa Starbucks tersedia hanya di pertokoan mahal. Gerainya hanya sedikit karena pelayanan jiwa itu mahal. Bisa dimengerti jika Starbucks pun tak mau rugi.

3. Konsumen memainkan banyak peran yang berbeda dalam proses keputusan pembelian : pencetus gagasan, pemberi pengaruh, pengambil keputusan, pembeli dan pengguna. Sebutkan dan jelaskan siapa saja yang memainkan masing-masing peran penting ini :
a. Ketika seorang ibu membeli makanan untuk anaknya yang baru berumur 1 tahun.
b. Ketika Bapak dan Ibu akan membeli pakaian untuk menghadapi resepsi resmi.


Jawaban : Konsumen memainkan banyak peran yang berbeda dalam proses keputusan pembelian : pencetus gagasan, pemberi pengaruh, pengambil keputusan, pembeli dan pengguna. Dimana karena perilaku pasar mencerminkan perilaku individu-individu yang ada di dalam suatu kelompok tertentu. Pola perilaku individu dipengaruhi oleh Factor Personal (usia dan tahapaan hidup, kedudukan/jabatan, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri) dan Factor Psikologis (motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap). Kedua faktor tersebut akan menentukan perilaku individu di dalam mengambil keputusan pembelian.
Ada 5 peran yang terlibat didalam proses pembuatan keputusan pembelian yaitu :
1. Initiator : seseorang yang menyarankan / memunculkan ide untuk membeli sesuatu produk/jasa
2. Influencer : seseorang yang cara pandang dan gagasannya mempengaruhi keputusan pembelian.
3. Decider : seseorang yang memutuskan komponen dari keputusan pembelian; membeli atau tidak; apa yang mau dibeli; bagaimana membelinya; atau dimana akan dibeli.
4. Buyer : seseorang yang secara actual melakukan pembelian.
5. User : seseorang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk/jasa.

a. Sebutkan dan jelaskan siapa saja yang memainkan masing-masing peran penting ini : Ketika seorang ibu membeli makanan untuk anaknya yang baru berumur 1 tahun.
1. Initiator : Seorang Ibu, yaitu keinginan seorang Ibu yang menyarankan / memu’nculkan ide untuk membeli kebutuhan makanan untuk anaknya.
2. Influencer : Anaknya yang baru berumur 1 tahun, yaitu memberikan pengaruh kepada seorang Ibu untuk melakukan keputusan pembelian produk makanan karena adanya kebutuhan makanan untuk anaknya tersebut.
3. Decider : Seorang Ibu, yaitu yang memutuskan untuk melakukan keputusan pembelian; membeli atau tidak; apa yang mau dibeli; bagaimana membelinya; atau dimana akan dibeli.
4. Buyer : Seorang Ibu, yaitu seorang Ibu yang secara actual melakukan pembelian produk makanan.
5. User : Anak yang baru berumur 1 tahun, yaitu seorang anak yang mengkonsumsi atau menggunakan produk makanan untuk membantu pertumbuhannya.

b. Sebutkan dan jelaskan siapa saja yang memainkan masing-masing peran penting ini : Ketika Bapak dan Ibu akan membeli pakaian untuk menghadapi resepsi resmi.
1. Initiator : Seorang Bapak dan Ibu, yaitu keinginan seorang Bapak dan Ibu yang menyarankan / memunculkan ide untuk membeli pakaian untuk menghadapi acara resepsi resmi.
2. Influencer : Adanya acara resepsi resmi, yaitu memberikan pengaruh kepada seorang Bapak dan Ibu untuk melakukan keputusan pembelian pakaian.
3. Decider : Seorang Bapak dan Ibu, yaitu yang memutuskan untuk melakukan keputusan pembelian pakaian; membeli atau tidak; apa yang mau dibeli; bagaimana membelinya; atau dimana akan dibeli.
4. Buyer : Seorang Bapak dan Ibu, yaitu seorang Bapak dan Ibu yang secara actual melakukan pembelian produk pakaian yang sesuai untuk menghadapi acara resepsi resmi tersebut.
5. User : Seorang Bapak dan Ibu, yaitu yang menggunakan produk pakaian untuk menghadapi acara resepsi.

4. Apakah benar pihak perusahaan harus selalu memperhatikan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Apa yang akan terjadi jika seorang konsumen merasa kecewa terhadap suatu produk yang dibelinya dan apa yang harus dilakukan jika hal ini menimpa produk dari perusahaan anda.

Jawaban : Pihak perusahaan harus selalu memperhatikan kepuasan dan loyalitaas pelanggan adalah benar. Hal ini karena telah menjadi suatu kepercayaan umum, khususnya dalam dunia bisnis, bahwa kepuasan pelanggan merupakan salah satu kunsi keberhasilan suatu usaha. Ini dikarenakan dengan memuaskan konsumen, perusahaan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan tersebut.
Menurut Philip Kotler ( 1996;10 ) : Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi kesannya terhadap kinerja (hasil) suatu produk dan harapan harapannya. Sedangkan menurut Kotler & Garry Amstrong ( 2001;36 ) : Kepuasan adalah sejauh mana anggapan kinerja produk memenuhi harapan pembelinya, bila kinerja produk lebih rendah dibandingkan harapan konsumen, pembeli tidak puas, bila kinerja sesuai atau melebihi harapan maka pembeli merasa puas.
Menurut Gale (1997) : Tingkat loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh persepsi konsumen terhadap nilai yang ditawarkan oleh perusahaan. Apabila suatu produk dapat memenuhi harapannya atau mampu memuaskannya, maka dimasa datang akan terjadi pembelian ulang.
Contoh kasus : Belum lama ini berita di berbagai media di ramaikan oleh cerita tentang Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni International. Prita yang tidak puas dengan cara diagnosa dan pengobatan yang di alaminya di Rumah Sakit Omni International, menuliskan ketidak puasannya tersebut dalam sebuah e-mail yang di kirim kepada 10 orang kawan-kawannya. E-mail berjudul “Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tanggerang” ini rupanya ber edar luas dan menuai tuntutan perdata dan pidana atas pencemaran nama baik dari pihak Rumah Sakit Omni International kepada Prita. Prita pun harus mendekam di rumah tahanan selama 3 minggu, sebelum kemudian mendapat penangguhan penahanan dan menjadi tahanan kota.
Langkah-langkah penanganan masukan ini urutannya sebaiknya adalah :
Permintaan maaf bila pelanggan mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan. Meskipun perusahaan kita belum tentu bersalah, permintaan maaf ini lebih ditujukan untuk menunjukkan bahwa kita berempati pada pengalaman yang dirasakan oleh pelanggan.
Pahami akar masalahnya. Sering kali apa yang disampaikan pelanggan adalah suatu akibat dari suatu rangkaian proses. Kita perlu memahami akar masalahnya agar kita bisa memberikan pemecahan yang tepat.

Ambil tindakan yang diperlukan agar masalah yang dihadapi pelanggan dapat segera terpecahkan. Biasanya tindakan yang di ambil terdiri dari dua bagian, tindakan jangka pendek agar permasalahan pelanggan bisa segera teratasi, dan tindakan jangka panjang agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Setelah tindakan di ambil, dapat kan konfirmasi dari pelanggan bahwa tindakan yang kita ambil telah memuaskan pelanggan. Jangan sampai terjadi, kita merasa sudah memecahkan permasalahan, namun pelanggan merasa masalahnya belum selesai, sehingga mereka membawa komplain ini ke jalur lain.

Berikan penghargaan pada pelanggan karena mereka telah memberikan masukan. Kenang-kenangan kecil yang menyampaikan pesan bahwa kita menghargai masukan mereka akan memberikan kesan yang positif bahwa kita adalah perusahaan yang tau pentingnya kepuasan pelanggan dan memberikan fokus yang tinggi pada pelanggan.
Pengalaman menunjukkan, bila kita menangani komplain dengan baik, bukan saja kita bisa berhasil mempertahankan pelanggan, malah kita bisa mengubah komplain itu menjadi peluang bisnis baru.

5. Ditinjau dari segi pendidikan, ternyata semakin tinggi pendidikan seorang konsumen maka pengetahuan tentang supermarket bukan lagi informatif akan tetapi lebih bersifat normatif. Apakah saudara sependapat dengan pernyataan tersebut ? Kemukakan alasannya.

Jawaban : Ditinjau dari segi pendidikan, ternyata semakin tinggi pendidikan seorang konsumen maka pengetahuan tentang supermarket bukan lagi informatif akan tetapi lebih bersifat normatif. Pernyataan tersebut, saya sependapat. Hal ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang maju dan berkembang pesat khususnya di kota-kota besar, telah terjadi perubahan di berbagai sector termasuk dibidang industri dan produksi serta pada kegiatan eceran di Indonesia yang telah berkembang menjadi usaha yang berskala besar. Perkembangan bisnis eceran yang pesat ini (dalam bentuk supermarket) tidak lepas dari factor meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan juga meningkatkan jumlah pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang menyebabkan taraf hidup masyarakat Indonesia semakin meningkat. Hal ini membawa dampak kepada pola perilaku belanja seorang konsumen. Dimana semakin tinggi pendidikan dan semakin meningkatnya taraf hidup seseorang maka tuntutan akan tempat berbelanja yang nyaman dan dapat menyediakan segala macam kebutuhan konsumen dalam satu lokasi semakin dibutuhkan.
2. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin tinggi pemahamannya akan pola konsumsi yang sehat.

Tuesday, July 21, 2009

MANAJEMEN PEMASARAN STRATEGIK CV PUTRA MANDIRI

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN


CV. Putra Mandiri yang berdiri sejak tanggal 1 Juli 2003 dan berkedudukan di Kabupaten Tasikmalaya dan untuk pertama kalinya berkantor di Kampung Sinagar Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya, merupakan sebuah Perseroan Komanditer yang bergerak di bidang Perdagangan Umum, Suplier dan khususnya Pertambangan Pasir.
Letak Desa Sinagar yang berada tepat di bawah kaki Gunung Galunggung memberikan nilai strategis bagi CV Putra Mandiri sebagai perusahaan penghasil pasir dengan kualitas terbaik se-wilayah Priangan Timur. Sebab sebagaimana telah diketahui bahwa pada tahun 1982 Gunung Galunggung meletus dan memuntahkan milyaran kubik material gunung api seperti lava, batu andesit dan tentu saja pasir. Sebaran endapan pasir tersebut menutupi hampir seluruh desa yang berada di bawah kaki Gunung Galunggung, terutama Desa Linggajati dan Desa Sinagar. CV Putra Mandiri yang menguasai sekitar 41,25 Ha tanah yang dulunya menjadi daerah aliran lava, tentu saja menjadi pemilik dari kantong-kantong utama daerah endapan material vulkanik dan tentu saja pasir vulkanik.

VISI DAN MISI PERUSAHAAN

Visi
- Mengembangkan dan serta meningkatkan profesionalitas dan efisiensi dalam mengelola sumber daya alam yang ada dengan metode perencanaan dan pengelolaan yang berbasis pada konsep pelaksanaan yang berwawasan lingkungan. Dengan tetap menjunjung tinggi aspek hukum, keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Misi
- Membantu program pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pengembangan daerah khususnya sektor perluasan lapangan kerja untuk mengantisipasi masalah pengangguran dan pemerataan usaha yang pada akhirnya akan menjadi motor penggerak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

LEGALITAS PERUSAHAAN

CV Putra Mandiri berdiri sejak tanggal 1 Juli 2003

Akte Notaris : Hairidah, SH. No. 01 Juli 2003
NPWP : 02.166.348.9-425.000
SIUP : 503/0920/PK/IX/2006
TDP : 101435201072
SITU : 503/SK/446/PM/2006
IUP : 545/Kep.29/Distamben/2006
Ijin Dispensasi Penggunaan Alat Berat dan atau Alat Mekanik
: 540/Kep.21/Distamben/2007

POTENSI PERUSAHAAN

Saat ini bidang usaha yang digeluti oleh CV Putra Mandiri terbagi menjadi 4 (empat) divisi, yaitu :
I. Pertambangan Pasir
II. Pemotongan Batu
III. Perkebunan
IV. Penggergajian Kayu (Saw Mill)

I. Pertambangan Pasir

Berdasarkan hasil Pemetaan dan Penyelidikan Pendugaan Geolistrik Endapan Bahan Galian Pasir yang dilakukan oleh Laboratorium Perencanaan dan Simulasi Tambang Universitas Islam Bandung pada tahun 2004, diperoleh data bahwa posisi lokasi penambangan pasir milik CV Putra Mandiri berada pada ketinggian 626 m dpl, dengan sudut kemiringan lahan (elevasi) 648-666 m dpl. Pasir tambang berada pada kedalaman 5-44 meter dari permukaan tanah dengan ketebalan rata-rata deposit pasir sekitar 20-46 meter.

A. Luas Areal Tambang
Areal tambang CV Putra Mandiri dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu :
1. Wilayah yang telah ditambang seluas 302.500 m2 atau 30,25 Ha
2. Wilayah yang pernah ditambang secara manual dan masih memungkinkan untuk
ditambang kembali seluas 30.000 m2 atau 3 Ha
3. Wilayah yang belum ditambang yang terbagi menjadi dua lokasi terpisah dengan
luas masing-masing 2 Ha dan 6 Ha.
Sehingga luas total areal tambang adalah 41,25 Ha.

B. Cadangan Deposit Pasir
Jumlah cadangan yang didapat dari lapangan terbagi menjadi 2 wilayah yaitu (1) area bekas tambang yang dapat ditambang kembali dengan jumlah cadangan sebesar 1.128.625 m3, (2) area yang belum ditambang dengan jumlah cadangan sebesar 2.616.625 m3. Sehingga diperkirakan jumlah total cadangan deposit dari 11 Ha areal pertambangan tersebut adalah sebesar 3.745.250 m3.

C. Produktivitas Penambangan
• Produksi Secara Mekanis
Dengan semua sumber daya yang ada produksi di CV Putra Mandiri dapat ditingkatkan, sehingga mencapai tingkat produksi maksimumnya sebesar 5.759,64 m3/hari. Dengan rincian kerja sebagai berikut :
Perhitungan kemampuan sebenarnya 1 (satu) buah backhoe
- Kapasitas Bucket Nyata di lapangan = 0,8 m3
- Waktu edar Backhoe = 0,4 menit
- Maka produksi 1 backhoe = 0,8 m3/0,45 menit
= 1,77 m3/menit
= 2,28 x 60
= 106,66 m3/jam
- Jam kerja yang ada saat ini = 18 jam / hari
Jika efisiensi kerja diasumsikan sebesar 75%, maka produksi 1 unit Backhoe perhari adalah sebesar 106,66 m3/jam x 18 jam/hari x 75% diperoleh hasil sebesar
= 1.599,99 m3/hari

Dengan menggunakan 4 backhoe yang ada maka kapasitas produksi harian backhoe sebesar 1.439,91 m3/hari x 4 unit = 6.399,36 m3/hari.

• Produksi Secara Manual
Pegawai penambang manual berjumlah 150 orang. Dengan kapasitas produksi maksimal per orang dalam satu hari sebesar 3 m3/hari. Jadi kapasitas maksimal produksi tambang secara manual adalah :
- 150 orang x m3/hari = 450 m3/hari

Jadi total produksi penambangan pasir CV Putra Mandiri :
= Total Produksi Mekanis + Total Produksi Manual
= 6.399,36 m3/hari + 450 m3/hari
= ± 6.849,36 m3/hari
(Data dan perhitungan berdasarkan hasil Pemetaan dan Penyelidikan Pendugaan Geolistrik Endapan Bahan Galian Pasir yang dilakukan oleh Laboratorium Perencanaan dan Simulasi Tambang Universitas Islam Bandung pada tahun 2004)

D. Produk
Produk yang menjadi komoditas utama CV Putra Mandiri adalah Pasir Galunggung yang secara ilmiah berdasarkan uji laboratorium telah terbukti sangat baik digunakan sebagai bahan campuran untuk pekerjaan-pekerjaan seperti pengecoran, pengaspalan, pembangunan, serta sebagai media untuk tumbuh kembangnya rumput di lapangan golf.
Sampai saat ini produk pasir yang dihasilkan oleh CV Putra Mandiri ada 3 jenis, yaitu :

1. Pasir Jenis 02
Pasir lolos saringan 2 mm
Yang banyak digunakan untuk : Media tumbuh rumput lapangan golf
Harga : Rp. 81.000,-/m3 (harga di lokasi)


2. Pasir Jenis 04
Pasir lolos saringan 4 mm
Yang banyak digunakan untuk campuran beton untuk pembuatan bangunan, tiang pancang, dan sebagainya
Harga : Rp. 69.000,- / m3 (harga di lokasi)

3. Pasir Jenis 08
Pasir lolos saringan 8 mm
- Pasir 08 Backhoe
yang banyak digunakan untuk campuran beton bangunan dan sebagainya.
Harga : Rp. 50.000,-/m3 (harga di lokasi)
- Pasir 08 Manual
Yang banyak digunakan untuk campuran beton bangunan dan sebagainya.
Harga : Rp. 57.000,-/m3 (harga di lokasi)

SISTEM PENAMBANGAN

Secara umum sistem penambangan yang dapat diterapkan sangat tergantung kepada variabel berikut ini :
- Besar cadangan, tebal, sifat fisik, dan mekanik tanah penutup
- Bentuk (geometri), kondisi geologi, struktur dan sifat fisik atau mekanik
sumberdaya
- Kondisi hidrogeologi
- Jalan masuk dan fasilitas keteknikan untuk penambangan
- Faktor ekonomi
- Faktor-faktor lingkungan seperti hak guna lahan, air tanah, kebisingan, dan
gangguan getaran akibat penambangan

Berdasarkan variabel tersebut diatas maka, sistem penambangan yang digunakan di CV Putra Mandiri adalah :
1. Penambangan cara konvensional / tradisional
Sistem penambangan yang menggunakan alat-alat sederhana seperti cangkul, linggis, belincong, sekop dan ember
2. Semi Mekanis
Sistem penambangan pada areal yang mempunyai lapisan tanah penutup yang relatif lunak dan ketebalan relatif tipis dilakukan dengan menggabungkan alat mk
3. Mekanis
Sistem ini digunakan pada areal tambang yang lapisan tanah penutupnya relatif keras dan memiliki ketebalan yang tinggi sehingga digunakan alat-alat berat seperti back hoe, shovel, ayakan (screen) dan pompa untuk pencucian pasir, sedangkan sebagai alat angkutnya digunakan dump truck.

SISTEM PELAYANAN / TRANSAKSI

Transaksi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

1. Cara tunai
- Pembeli dapat langsung datang ke lokasi dengan membawa kendaraan pengangkut sendiri dan membayar secara tunai sesuai dengan jumlah pasir yang dibeli.
- Pasir diantar ke pembeli dengan menggunakan kendaraan pengangkut milik CV Putra Mandiri. (sementara hanya terbatas untuk daerah Tasikmalaya saja)

2. Cara Deposit
- Pembeli menyimpan sejumlah uang sebagai pembayaran di muka (down payment) untuk pengambilan sejumlah pasir sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama. Kemudian di awal bulan berikutnya dilakukan Contra Bon untuk menghitung jumlah kubikasi pasir yang dibeli serta untuk mengetahui besarnya kekurangan/kelebihan pembayaran. Kendaraan pengangkut dapat menggunakan kendaraan milik CV Putra Mandiri atau milik pembeli.

TEKNIS PENAMBANGAN DAN PENANGGULANGAN
DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN


Sistem pelaksanaan penambangan yang dilakukan oleh CV Putra Mandiri dapat digambarkan dalam 7 (tujuh) alur kerja sebagai berikut :

1. Pembersihan area kerja (Land Clearing)
Membersihkan daerah yang akan ditambang dari semak-semak, pepohonan, dan tanah maupun bongkahan batu yang menghalangi penambangan. Tanah pucuk yang subur (humus) ditimbun ditempat tertentu lalu ditanami rerumputan atau semak untuk mengurangi erosi, yang nantinya akan digunakan untuk reklamasi lahan bekas tambang.

2. Penggalian (Diging)
Kegiatan pengambilan endapan bahan galian pasir.
3. Pengayakan (Screening)
Pasir setelah digali dimasukkan ke dalam ayakan untuk memperoleh pasir dengan ukuran yang diinginkan.

4. Pencucian (Washing)
Pekerjaan untuk memisahkan pasir dari unsur-unsur pengotornya sehingga menghasilkan kualitas dan mutu pasir yang lebih baik

5. Pemuatan (Loading)
Pekerjaan yang dilakukan untuk mengambil dan memuat pasir ke dalam alat angkut atau ke tempat penampungan pasir sementara (stock yard) dengan menggunakan alat berat seperti Backhoe atau Loader

6. Pengangkutan (Hauling)
Pekerjaan mengangkut pasir dari tempat penampungan sementara (stock yard) ke tempat penampungan utama (stock pile) untuk selanjutnya diantar ke konsumen atau diambil oleh mobil konsumen.

Salah satu dampak yang tidak bisa dihindari dari aktivitas pertambangan adalah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak lingkungan yang terjadi antara lain erosi tanah, penurunan kualitas air, dan udara.
Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut, CV Putra Mandiri melakukan tindakan penanggulangan sebagai berikut :

1. Erosi Tanah
Lahan yang telah ditambang diremajakan/direhabilitasi kembali kondisi tanahnya dengan cara menutup lapisan permukaannya dengan menggunakan tanah pucuk yang subur (humus), kemudian ditanami dengan tumbuhan yang berbatang keras seperti pohon Albasia, Mahoni, Jati dan lain-lainnya. Bahkan hampir sebagian besar lahan bekas galian, diolah kembali untuk kemudian difungsikan sebagai lahan persawahan.
Selain untuk mengamankan kemantapan lereng, rehabilitasi juga dilakukan untuk mengatur jatuhnya aliran air agar air dapat mengalir secara alamiah sehingga sedapat mungkin mengurangi proses erosi. Selain itu juga sedapat mungkin memperbaiki bentang alamnya agar estetika lingkungannya menjadi lebih baik.

2. Limbah Air
Penanganan masalah limbah air hasil pencucian pasir sudah dilaksakan sesuai dengan petunjuk teknis yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi yaitu dengan membuat kolam-kolam penampungan air limbah (Tailing Pond) dengan maksud mengendapkan partikel padat yang terbawa oleh air sebelum air tersebut sampai ke badan perairan umum (masyarakat).
Bentuk kolam berupa empat persegi panjang (lihat gambar) dengan 4 (empat) zona penting yang terbentuk karena proses pengendapan material padatan (solid particle).

4 zona penting tersebut adalah :
1. Zona Masukan
Tempat air lumpur masuk ke dalam kolam pengendapan dengan asumsi pencampuran air dan padatan terdistribusi secara seragam.
2. Zona Pengendapan
Tempat partikel padatan akan mengendap
3. Zona Endapan Lumpur
Tempat partikel dalam cairan (lumpur) mengalami pengendapan (terpisah dari cairan) dan terkumpul di dasar kolam pengendapan.
4. Zona Keluaran
Tempat keluarnya air yang telah bersih dari partikel-partikel padatan (jernih)

3. Polusi Udara
Sehubungan dengan banyaknya alat berat dan kendaraan pengangkut pasir yang beroperasi di areal penambangan, tentu saja asap kendaraan (Karbondioksida/CO2) yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut akan cukup banyak. Untuk mengantisipasi hal tersebut dilakukan penanaman tanaman-tanaman berbatang keras dan besar seperti Albasia, Mahoni, Jati dan lain-lainnya sebagai penghisap gas buang kendaraan sekaligus sebagai penghasil Oksigen (O2).

COMPANY SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada kehidupan sosial masyarakat, CV Putra Mandiri menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Bahkan ruang lingkupnya tidak saja terbatas pada lingkungan masyarakat sekitar perusahaan tetapi juga sampai ke luar daerah.
Bantuan-bantuan yang disalurkan oleh CV Putra Mandiri Diantaranya mencakup aspek sosial, kemanusiaan, pendidikan dan juga keagamaan. Bantuan kepada korban bencana alam seperti banjir dan gempa bumi bahkan juga kebakaran. Kemudian bekerjasama dengan pemerintahan desa setempat di lingkungan Kecamatan Sukaratu seperti pembangunan sarana fisik seperti pengurugan, pembuatan jalan, dan pembuatan saluran irigasi. Dalam bidang pendidikan CV Putra Mandiri telah mendirikan sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) Gratis dua lantai yang pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan dan Pondok Pesantren yang peserta didiknya adalah anak-anak yang berdomisili di sekitar lingkungan perusahaan. Di bidang keagamaan CV Putra Mandiri juga banyak sekali membantu pembangunan madrasah, pondok pesantren dan masjid. Dan kegiatan tahunan yang terus dilakukan hingga saat ini adalah pelaksanaan Sunatan Massal yang digelar atas prakarsa dan biaya dari perusahaan.
Semua hal tersebut dilakukan atas dasar kesadaran bahwa perusahaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah komunitas masyarakat yang saling terintegral dan saling mempengaruhi.

MITRA KERJA
DAN PRESTASI PERUSAHAAN


a. Mitra Kerja/Rekanan Perusahaan
Selama ± 6 tahun semenjak pendiriannya CV Putra Mandiri telah menjalin kerjasama yang sangat baik dengan beberapa mitra kerja / rekanan perusahaan baik itu yang berdomisili di Tasikmalaya ataupun di luar Tasikmalaya, seperti :
1. PT Perdana Utama (PU) Jakarta
2. PT T.F.T Tasikmalaya
3. PT Persada Nugraha Ilahi (PNI) Tasikmalaya
4. PT Mekar Putra Bandung
5. PT Indocement Panca Persada Raya Buana Jakarta
6. PT A.N Tasikmalaya
7. PT Torsina Redikon Bandung
8. CV KWN Tasikmalaya
9. CV Barokah Tasikmalaya
10. CV Tidini Prima Bandung
11. CV Bandung Raya Material (BRM) Bandung
12. CV O.N Garut

Proyek yang pernah menggunakan pasir galunggung sebagai bahan kerjanya adalah proyek Pembangunan Ruas Jalan Tol Cipularang, Ruas Jalan Tol Pasopati Bandung, dan lapangan-lapangan golf di seputaran Jabodetabek. Hampir seluruh kebutuhan pasirnya menggunakan Pasir Galunggung yang disuplai oleh CV Putra Mandiri.

b. Prestasi dan Penghargaan
Beberapa penghargaan dari Pemerintah yang pernah diterima oleh CV Putra Mandiri adalah :
1. Piagam KALPATARU sebagai Pengusaha Terbaik Tingkat Kabupaten Tasikmalaya dengan jumlah karyawan : 350 orang.
2. Penghargaan di Bidang Lingkungan Hidup Tingkat Kabupaten Tahun 2004 sebagai Perintis Lingkungan Hidup
3. Penghargaan Bupati Tasikmalaya Tahun 2008 dalam rangka Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya sebagai Pengusaha Taat Pembayar Pajak Galian C.


Marketing Mix Perusahaan CV. Putra Mandiri

a. Product Marketing Mix yang 4P’s setelah diimplementasikan. mayoritas pelanggan menginginkan pasir berukuran 06 yang halus, masih hitam pekat, tidak kering. Karena sudah diketahui bahwa market menyukai produk pasir seperti itu, maka product tersebut didesign sedapat mungkin memenuhi ekspektasi konsumen. Sehingga majoritas keinginan / mindset konsumen terpenuhi. Product pasir cv. putra mandiri dari galunggung tidak hanya mutunya bagus saja, specnya oke tapi juga mencakup after sales servicenya yang top, sistem pembeliannya oke (bisa memakai leasing), delivery cepat 24 jam. bisa dengan down payment

b.Price Yang penting… untuk penetrasi pasar, karena menjaga kualitas barang bagus.. harga juga tidak terlalu tinggi… harga bisa masuk ke dalam quadrant penetration, dengan cara efisien untuk nekan cost production, termasuk transportasi. Ada nya target costing. Intinya pada point ini adalah… setelah kualitasnya bagus… harganya terjangkau… !!!

c.Place
Place yaitu bagaimana membuat channel distribution yang oke…!!! Bagian ini tinggal bisa nyari datanya.. dari jenis pasir yang banyak terjual.. untuk keperluan apa saja, perumahan, proyek pembangunan jalan hingga kontraktor mana saja. Jangan terlampau banyak rantai distribusi. Karena tidak efisien.. malah ngerogoti cost. yang tidak kompetitif…!!! Bisa juga dibagi khusus untuk distribusi di Tasikmalaya misalnya, kalau cash langsung ditangani oleh pabrikan, langsung diantar… ini mirip Service Level Agreeement…!!!

d.Promotion
Sebenernya ini pelengkap…!!! Karena jika productnya sudah baik, harganya terjangkau, channel distribusinya baik, tidak dipromosikan juga sudah langsung melejit. Tidak perlu memenangkan tender, banyak proyek yang langsung menghampiri. Tapi untuk sebagai promosi.. jangan sampai membebani.. . cost, memilih blog sebagai sarana promosi, social net working seperti facebook, dan twitter, forum yang murah meriah, perusahaan bisa meluangkan waktu membuat user id, dan posting mengenai product itu…!!! cost nya juga kecil.


Characteristic of market driven bagi CV. Putra Mandiri


Ketatnya persaingan dalam penambangan pasir saat ini, meskipun sekarang memiliki lahan tambang pasir yang cukup besar di Gunung Galunggung, mengharuskan CV. Putra Mandiri untuk menyusun strategi guna mengalokasikan sumberdaya secara optimal dalam upaya mempertahankan eksistensinya. Dalam lima tahun terakhir, Penjualan pasir mengalami progess yang cukup signifikan.

Dalam hal ini, CV. Putra Mandiri dituntut lebih memfokuskan kekuatan
sumberdayanya dengan berorientasi pada pasar (market driven oriented) atau kebutuhan pelanggan. Dengan menggunakan pendekatan lain guna mempertahankan posisi yang cukup kuat, perusahaan dituntut lebih memahami pasar dengan tepat dalam konsep industry foresight, mengingat selalu ada perubahan tren kebutuhan pasar dan faktor-faktor eksternal lainnya yang menyebabkan berbagai ketidakpastian dan turbulensi dalam pengembangan usaha.

Bertolak dari uraian diatas, maka perusahaan menyadari (1) bagaimana kondisi lingkungan internal perusahaan saat ini, dan lingkungan bisnis pasir di Indonesia?; (2) bagaimana tinjauan indikator industry foresight bisnis pasir di Indonesia, serta posisi relatif CV. Putra Mandiri terhadap indikator industri bisnis pasir di masa depan?; (3) bagaimana rumusan strategi pengembangan (architecture strategy) CV. Putra Mandiri yang fokus pada kompetensi inti dan berorientasi pasar, terkait dengan kajian industry foresight bisnis pasir di Indonesia?.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dimulai dengan menganalisis kondisi internal CV. Putra Mandiri saat ini meliputi visi dan misi, struktur organisasi, serta kompetensi inti yang dimiliki CV. Putra Mandiri.

Selanjutnya, analisis lingkungan industri didekati dengan beberapa metode antara lain (1) PEST; (2) Five Forces of Porter untuk mengetahui intensitas persaingan industri bisnis pasir; (3) analisis industri dalam aspek struktur, perilaku maupun kinerja industri bisnis pasir di Indonesia.

Kemudian, analisis lingkungan internal maupun lingkungan industri dihasilkan faktor-faktor strategik berupa kekuatan dan kelemahan maupun peluang dan ancaman, yang selanjutnya dituangkan ke dalam matriks SWOT guna merumuskan alternatif strategi pengembangan CV. Putra Mandiri yang sejalan dengan industry foresight bisnis pasir di Indonesia.
Alternatif strategi tersebut selanjutnya dipetakan ke dalam arsitektur strategik berikut dinyatakan kompetensi inti yang harus dimiliki, corporate challenge yang harus dihadapi, serta program kerja yang harus dijalankan CV. Putra Mandiri dalam rangka mewujudkan industry foresightnya.

Strategik untuk memenuhi components of market orientation

Elemen pertama dari sales platform adalah market. Pemahaman terhadap pasar merupakan upaya pertama yang akan menentukan bagaimana organisasi penjualan akan didisain atau bagaimana tenaga penjualan dikelola. Bagaimana mungkin Anda bisa menjual secara efektif kalau Anda tidak tahu karakteristik dan perilaku pasar/pelanggan yang dibidik.
– Hermawan Kertajaya –


Market CV Putra Mandiri = Konsumen yang membutuhkan pasir untuk beragam jenis proyek
Penjual = CV. Putra Mandiri dan seluruh komponen supplier
Pasar/Pelanggan yang Dibidik = Para Kontraktor, Perumahan, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, lapangan golf, dan lain sebagainya
Banyak organisasi penjualan yang menggunakan pendekatan yang lebih bersifat product-driven, dimana strategi penjualan lebih difokuskan ke produknya tanpa tahu apa maunya pasar dan bagaimana perilakunya. Namun dalam model ini kami percaya bahwa pendekatan penjualan haruslah bersifat market-driven dimana simpul dari keseluruhan strategi penjualan haruslah berawal dari apa yang terjadi di pasar.
Ini berarti bahwa pasar akan menentukan format organisasi penjualan; pasar akan menentukan proses penjualan yang dijalankan; pasar menentukan pengembangan kompetensi tenaga penjualan; pasar menentukan key performance measure yang akan digunakan.
Dalam merancang program yang akan dijalankan oleh CV. Putra Mandiri, terlalu berorientasi pada konsepsi program di atas kertas, tanpa mengamati dan melakukan analisa terhadap dinamika dunia bisnis pasir di Indonesia, hanya akan membawa program yang kita buat menjadi tidak “laku”.
Tapi bukan berarti bahwa kita harus ikut dan tunduk pada trend “pasar”. Ketika trend yang terjadi di “pasar” adalah jualan pasir semata misalnya –CV. Putra Mandiri harus mampu tampil sebagai penyelenggara program jasa yang lain bukan menjual pasir semata, tetapi jasa yang berhubungan dengan penggunaan pasir tersebut dan harus ada sistem Quality Control yang juga baik untuk program tersebut. Dan tentu, sebelum ia diadakan mestilah ada Need Analysis agar apa yang dibuat benar-benar tepat guna bagi parapelanggan yang ada
Jasa yang akan dibuatpun tidak boleh muncul karena alasan suka semata-mata, tetapi harus muncul dari alasan “pasar menginginkan produk tersebut”. yang nantinya di kembangkan di bawah naungan CV. Putra Mandiri, selain harus taat pada jalur “Core Competence” yang hendak dikembangkan CV. Putra Mandiri juga harus berangkat dari pengamatan dan analisa yang bagus dari dinamika yang sedang terjadi di “pasar” garapan CV. Putra Mandiri.

Global bussines issue


Sebagai warga Negara global “Think Global act local” CV. Putra Mandiri harus mampu memasuki kompetisi global dalam jangka waktu ke depan, karena segala bidang bisnis akan lebih cepat dan praktis, maka dengan memanfaatkan kecanggihan e-commerce. CV Putra Mandiri bisa membuka On line Shop sehingga mampu menjangkau pasar yang lebih luas lagi, bahkan ke luar negri. Dengan membanggakan produk dari negri sendiri.

Understanding the competitor

Untuk memenangkan kompetisi di bisnis pasir, CV. Putra Mandiri harus bisa memahami dan menganalisa para kompetitornya. Dan melihat peluang yang bisa dimasuki oleh CV. Putra Mandiri, baik itu dari product, price, place dan promotion.
Serta CV. Putra Mandiri harus siap dengan sistem informasi eksekutif (EIS) yang tangguh, sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Karena CV. Putra Mandiri akan menggunakan berbagai kebutuhan mengirim data dari berbagai kebutuhan pasar sehingga direktur akan dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi yang terkini tentang produksi, kondisi pasar, pelaporan, berbagai analisa yang cerdas dan kemampuan pembuatan keputusan lainnya. proses upgrade. Kemampuan Sistem Informasi yang baik akan mengintegrasikan seluruh operasional CV. Putra Mandiri dengan seluruh proses bisnis perusahaan. Untuk mengeksekusi keputusan pasar dan juga akan mampu mendukung ekspansi CV. Putra Mandiri ke area bisnis baru.

Kesalahan yang potensial yang pernah terjadi

Mogoknya para operator di lapangan, driver kendaraan, karena factor usia dan tunjangan, tidak bisa menyesuaikan dengan jadwal kerja jika shift malam, dan tunjangan tidak cukup bagi keluarga.

Upaya perbaikan strategik


Dalam proses prekrutan SDM untuk operator di lapangan dan driver kendaraan berikutnya, memilih dari usia yang produktif, sehingga masih tetap fit dengan jadwal shift malam dan diusahakan belum berkeluarga.

Friday, July 17, 2009

Tugas Manajemen Keuangan MM UNSIL

Executive Summary
The Islamic Banking institution is a new and constantly evolving concept. In relation to the Western way of banking, the Islamic Banking system is free of interest. One might wonder what the incentive to lend money would be. Others may not understand what benefits could be had by putting their savings into a bank account. While Muslims do not believe in charging or earning interest, they have developed a very complex alternative that is being implemented all over the eastern world. Started from just an idea, this new way of banking quickly spread through the Muslim countries, and has continued to expand all over Europe and Asia. Although the system is proving to the West that it can work, it is still trying to iron out some of the inefficiencies that it currently has. Once the system is more efficient, it will be better able to provide its members with a stock market that works in the same efficient way as it does here in the West.
Introduction
Facts and Figures
- $230 billion: total assets of Islamic institutions
- 75: number of countries where Islamic institutions operate
- 15%: expected annual growth of Islamic finance in the next five years
- 1975: date of the creation of the first modern Islamic commercial bank, the Dubai Islamic Bank
- DMI Group: largest international Islamic finance group
- Pakistan: first country to Islamicize its financial system (1979).
Islamic Banking, based on the prohibition of interest, is becoming more and more popular through the Middle East. The implementation and continuing existence continues to raise skepticism as to its effectiveness, while its ability to provide needed economic funding remains under the watchful eye of the governments who participate. Many would wonder what the incentive would be to lend money if interest were not to be earned. The concepts of Islamic banking vary immensely from Western ideas. The idea of riba (interest-free) banking is foreign to the West. The differences come from a multitude of areas with the foundation existing in the fact that making money off lent capital is against the Islamic religion. This and many other topics will be discussed in the following essay along with the fundamental principles associated with Islamic Banking.

Historical Development
The idea of creating an Islamic banking program can be traced back to 1946. This is when the ideas formed that there was a need for "commercial banks [without] the evil of interest" (Gafoor, 4.1.1). This is also when the concept of Mudarabha1 (Profit Loss Sharing) was formed. Many theories were developed, and the involvement of numerous institutions and government groups resulted in the establishment of the first interest-free banks. Islamic Banking was established in 1975 with the development of the Islamic Development Bank, an inter-governmental bank, and the Dubai Islamic Bank. They wanted to rid the Islamic economy of riba. The need for the interest-free banks was in direct response to the excess cash that many Muslim’s earned following the oil-price hike of 1973 (Gafoor, A, 5). The banks were established mostly for investing purposes, which could explain their weaknesses in the transaction aspects. The two of these areas need to be addressed separately, and by doing this they would have been better able to conceive a plan that would be more appropriate for their economy.
Implementation
In the ten years following the establishment of the first successful interest-free bank, over 50 other similar banking establishments have developed. Almost all of them are concentrated in Muslim countries with a few extending into Western Europe. For most of the countries, this change was made through private initiatives, while in Iran and Pakistan; it was made by government initiatives and covered all of the banks in the country. The implementation of this type of system was completed quite quickly. For example, in Iran and Pakistan, the initial idea of implementing the interest-free system began in 1981. In January, they took the first steps by starting the Profit Loss Sharing system for new deposits. By 1985 they formally transformed the system to be no-interest. This step only took six months. In July of 1985 banks could no longer accept interest bearing deposits, and all previous deposits were formally under the PLS system (Gafoor, 4.1.2). It is obvious that the change was dramatic yet did not take long to implement.
Basics of Islamic Finance
In general, all interest-free banks agree on the same principles while each individual bank has its own application. Muslims are prohibited by their religion to deal in interest (riba). Therefore, an Islamic Banking system cannot pay any interest to those who deposit their money, nor may they collect from those who borrow money from them. The lender is entitled to the return of his or her capital in full.
All Islamic Banks have three kinds of deposit accounts: current, savings, and investment. In the case of current accounts, the deposit is guaranteed. In terms of savings accounts, they can be dealt with in a number of ways. In some, the banks are allowed to use the depositor’s money but they are guaranteed to get the full amount back from the bank. In others, it is thought of as more of an investment type account. The capital is not guaranteed, but the money is invested in low-risk securities, which could also provide a profit. For an investment account, deposits are accepted for a fixed or unlimited period of time. The investors in these types of cases agree in advance to share with the bank their profit or loss. Their capital is not guaranteed.
Types of Islamic Financing
There are three general ways that these banks acquire assets or financing projects, these will be discussed further in the following sections. The general ways that Islamic financing occurs are investment financing, trade financing, and lending.
Investment Financing
Many banks join another entity to set up a joint venture. This is not unlike the joint venture concept that is practiced in the United States. In this case, it is decided ahead of time how the profits and losses will be shared by the investors. In these types of projects, the parties participate in numerous aspects of the project in all sorts of degrees.2 The bank is also sometimes willing to take a riskier approach through Mudarabha. In this type of case, which will be thoroughly discussed throughout the paper, the bank provides all of the capital while the company provides the labor, management, and expertise. The bank will share in the pre-determined profit, but when the loss occurs the bank is the only one who will bear the risk. The bank also depends on an estimated expected rate of return on projects. This is made in the hopes that the project will have profits high enough to pay the bank their required rate. If the business happens to be even more profitable than estimated, the excess will remain with the client. If the bank underestimated the return, it is the bank that will take a share in their loss (Gafoor, 4.2.2.1). To better understand these terms, Mudarabha and Musharaka, we can take a look at how they relate to financing in the United States. Mudarabha can be looked at much like a loan from a financial institution, such as a commercial bank. In these types of financing, the banking institution plays no direct role in the management of the project or company. Musharaka can be looked at like a venture capitalist, where it is not only the money that is provided, but also other management guidance through the life of the project.
Trade Financing
Islamic banks operate in terms of trade financing in five main ways: mark-ups, leasing, and hire purchase, sell-and-buy-back, and letters of credit. Mark-ups occur when the bank buys a product for the client and in return, they will receive the price for the item along with an agreed upon profit. They also do the typical leasing program, which allows someone to lease a product for an amount of time then purchase the product by paying off the remaining value. Somewhat like the leasing program is the idea of hire purchase where the bank buys a product then hires it to someone who they make the rent payments. At the end of a specified amount of time, the person making the rent payments automatically owns the product. Next is sell-and-buy-back when a person sells the bank a product and then promises to buy it back later for a larger sum of money. Lastly is letters of credit where the bank imports a product using its own money then shares the profits when someone else sells it after the mark-up (Gafoor, 4.2.2.2).
Lending
Banks are also able to bring in business through their lending practices. All loans are connected to a service charge rather than interest payments. This allows them to borrow money while also covering their own expenses. The maximum service charge is often set by the authorities, but usually falls around 4%. The banks are also willing to set aside a certain amount of money that will be lent to borrowers without charging a service fee. They do this to help those who would not be able to pay the 4% service charge on borrowed money (Gafoor, 4.1.2). It must be noted here that this type of banking program is fairly flexible, and willing to work with a wide variety of borrowers regardless of economic positions.
Specific Financing Techniques
There are many types of Islamic financing techniques with very specific requirements in for them to be legal under the Islamic Law. Murabaha, Ijarah, and Istinsna are the main techniques used in Islam.
Murabaha
The first type of financing technique is murabaha4, which literally means cost-plus or mark-up (Ariff, 46-62). Simply put murabaha means sale. There are two types of murabaha the first being an ordinary murabaha sale in which a seller provides a specific commodity to a buyer with a known price, or mark-up, added to it. The buyer knows exactly how much the seller paid for the commodity or how much cost was incurred and exactly how much of a profit the seller will be making on the sale. The second type is murabaha sale connected with a promise. In this type there are three parties involved: the seller, the buyer and the bank acting as an intermediary trader between the buyer and the seller.5 Islamic banks use this form of murabaha. They assume the responsibilities of the commodity by purchasing it from the seller and then reselling the commodities on Murabaha to the one who promised to buy the commodity.
There are certain conditions that must be met in order for a murabaha to be a valid sale.6 The seller must inform the buyer how much cost was incurred and how much profit he will make from the sale. The profit can be determined by mutual consent either by a profit to cost ratio or in a lump sum. Expenses incurred by the seller in acquiring the commodity can be, and usually must be, included in the cost of it but costs that are reoccurring such as salary or utilities of a business are not included in the costs that are incurred. It is very important that both parties in the transaction know the costs associated with the commodity in order to agree upon a profit. A murabaha sale is only valid if the exact costs can be ascertained.
It is important to note that murabaha does not take the word interest and replace it with mark-up also murabaha is an asset-based form of financing and there are several reason why this is true. There are strict regulations that must be followed in order for murabaha to be a legal form of financing. There are some basic features of murabaha financing. Murabaha is not a loan, it is an actual sale of a commodity for a price with an agreed upon profit. If no actual sale of commodity exists than the transaction is not murabaha and is not a legal financing technique. A commodity in this sense, can be consumable or physical. Murabaha is only an asset based form of financing since murabaha can only be used when a client need funds to purchase commodities. If the client requires the funds for other purposes murabaha cannot be used as the transaction mode since no real sale of commodities existed. Another key point is that the seller must actually own the commodity before it is sold to the client. Not only must the seller own the commodity for a short period but also that period must be long enough so that the seller will bear some sort of risk for that period of time. For example, if a person purchased an acre of land and wanted to sell it on murabaha, he would have to have the land in his possession long enough so as to run the risk of any losses that could be incurred from inclement weather or other disasters that could happen to the land. He could not sell it, in this case, a day after he bought the land because the risk that he will incur a loss to land in one day is very low. This is the only feature that distinguishes murabaha from an interest-based transaction.
Ijarah
The second form of Islamic financing is ijarah literally meaning “to give something on rent”, according to www.islamiq.com. In terms of financing it is equivalent to the English term leasing. The rules of leasing are very much like the rules of sale because something of value is being transferred. The rules of leasing are also very equivalent to the rules of leasing in the United States.
There are some basic rules of leasing including that the subject of the lease must have valuable use. Anything that cannot be used without consuming cannot be leased since the actual entity being leased must remain in the possession of the lessor. Therefore gasoline, consumables and anything else of this nature cannot be leased. Rent is determined by an agreement between the lessee and the lessor. It is predetermined, agreed upon amount. Any rent charged on an invalid lease will be considered interest and thus will not be a valid lease. All liabilities rising from the ownership of the property (taxes) shall be borne by the lessor while all liabilities rising from the use of the property (heating, water bills, etc.) shall be borne by the lessee. Any loss or destruction done to the asset during the lease period is borne by the lessor. The lease period as well as the use of the asset must be clearly defined.
Istisna
Istisna is a third form of Islamic financing. It is a form of sale where the transaction of buying and selling a commodity happens before the commodity comes into existence. A manufacturer agrees to manufacture a specific commodity for a specific purchaser by a specific, agreed upon date. The price must be a fixed price that is agreed upon by the manufacturer and the purchaser. Also, the specifications of the commodity must be agreed upon before production begins.

“One of the main uses of istisna as financing is the house-purchasing sector. If a client has his or her own land and seeks financing for the construction of a house, the financer may undertake the 'contract' to construct the house on the basis of istisna. If the client has no land and wishes to also buy land, the financer may undertake to provide him a constructed house on a specified piece of land.” (www.islamiq.com)
It is not necessary for the financer to actually construct the house. A third-party istisna may be formed. The cost of the contract is fixed into the cost in calculating of the istisna. The financer is responsible for all specifications of the house or project and if there are any variations the financer is responsible for making the corrections in accordance with the istisna contract. As long as the parties are in agreement, payments may be fixed in whatever manner that the parties wish. Payments may in one lump sum or they may be made in installments. If the financer wishes, he or she may keep the title deeds for the house or property until the final payments are made as security for the payments.
Sharia Issues
A systematic understanding of stocks from Islamic perspective is necessary, but first one must look at the Sharia before trying to understand the mechanics of legal actions. Sharia is defined as the “the path or road leading to the water”, a way to the very source of life (Rosley, 32). It is God who shows the way man should conduct the spiritual, mental and physical aspects of his life. By conducting ones life in this manner one will realize his will. At its most basic level, the Sharia has two basic principles. The first is the removal of hardship (ra'f al-haraj) and second, the prevention of harm (daf’al-darar). With this in mind it is important to recognize efforts to introduce the Sharia screening on stock and portfolios so that ideals are always preserved and protected. Since the Sharia dictates the way of Muslim life there are many issues to take into account when dealing with Islamic finance (de Belder, 40-44). Because the Sharia is a type of law followed by the Muslim’s, there are also cases where the law of the land precedes over the people.
Most issues and concerns concerning Sharia law, differ from country to country. First and foremost there is no binding precedent in court cases. If a matter comes before the Sharia court there is no definite outcome since there is no standing precedent to look upon for answers as there is in the Western culture that most of us are accustomed to. (For example, someone who is going to court because they stole a loaf of bread does not know for sure what will happen to them as far as sentencing is concerned. He cannot look upon or reference previous cases of bread stealing to estimate what kind of sentence he will receive. Each case stands alone.) In commercial matters they may go to the Commercial or Civil Courts but there is still no standing precedent and Sharia law7will normally rule.
Another important issue regarding Sharia is the interest factor. Interest is prohibited under Sharia, so investors must use other modes of financing that do not earn interest. Lending requirements under Sharia require that profits come from returns generated by the ownership of assets put to real economic use, not from a conventional interest rate. Real economic use means that the money must actually be used in order to see the return, interest may not just be charged in order to earn a profit. In the case of a bank, it cannot just lend money to someone and charge him or her an interest rate. The money must be used to build something or the bank will maintain ownership of a construction project until it is finished. Then the bank may take part in the profits of the business, and that is how the bank would make a profit. In some cases interest is allowed but only under very strict guidelines such as a stated, agreed upon rate.
Leases are allowed under Sharia law and they offer many positive characteristics, which make them an attractive investment vehicle. The security of assets is very attractive, especially for moveable assets. Leasing also allows investors to invest in long-term assets and lastly lease deals can very flexible in their structure as long as the key legal requirements are met. Islamic leasing is also attractive because most investors don’t finance above 85% of the costs of a project, while Islamic investors will finance up to 100% of the costs. (Carter, 23-25) The Islamic leasing sector is less volatile than other sectors. Islamic investors are less likely to react to negative events.
Basic Anatomy
Savings Accounts
Savings accounts in Islam are operated on an al-wadiah basis, meaning a safekeeping basis. The bank may pay its depositors a positive return periodically based on profits of the bank. These payments are legal in Islam since the payments are not predetermined and they are not a condition of lending. The depositors are allowed to withdraw money at anytime they please. Investment accounts are based on the mudarabha, or profit-sharing, principle. The deposits are term deposits, which means that there is a set date to maturity, and cannot be withdrawn before maturity. The rate of return can be positive or negative but in most cases they are positive and comparable to rates the conventional banks offer on their term deposits.
Capital Owners
Capital owners take on a specific role in Islamic financing. Islam does not deny that capital should be rewarded. It does allow the owners of capital a share in a surplus that is uncertain. Islamic investors do not however, have a right to demand a fixed rate of return. The owner of capital, rabbul-mal, may invest by allowing someone with ideas and expertise to use the capital for productive purposes and the rabbul-mal may share in the profits. If there are any losses they will be borne entirely by the rabbul-mal8.
Equity Participation
Equity participation is referred to as musharakah in Islam and it means literally to share. All partners in a venture share the profit or the loss based on some sort of predetermined equity ratio. Musharakah (equity participation) and mudarabha (profit sharing) are considered to be the twin pillars of Islamic finance. “The musharakah principle is involved in the equity structure of Islamic banks and is similar to the modern concepts of partnership and joint stock ownership.” (Ariff 1988) Islamic banks act as borrowers which manage funds of depositors to generate profits subject to rules outlined by the mudaraba. The bank may use the depositor’s funds on a profit sharing basis in addition to other lawful modes of financing. The bank acts as the mudarib9 and the rabbul-mal.
Bai’salam
Islamic banks also use pre-paid goods, bai’salam, as a means to finance production. The delivery takes place at a future date from the time of the contract and it is at this time of the contract the price is paid. Normally, no sale can be take place unless the goods are in existence at the time of the bargain. Since, in bai’salam the date of delivery is defined and the goods are defined the sale can take place and be exception to this rule. Payment must be made in advance in order for this to be considered a legal sale. This is done because it allows the entrepreneur to sell his output to the bank at a price determined in advance. Banks use this form of financing normally in the agricultural market. They pay farmers in advance for a share of their crop, which the bank in turn will sell on the market. In the entrepreneurial sense, bai’salam is used when a manufacturer needs capital to manufacture a good. In return for providing the capital, the entrepreneur will receive a reduced price on the goods being produced if he or she wishes to purchase them.
As far as an Islamic bank’s investment portfolio, it has the options of the mudarabha10 and musharakah11 modes of investment, but most banks prefer less risky modes of investment. The most commonly used form of financing is the murabaha. A chart at the left, shows ABC Islamic Bank’s total assets for 2000 shows that murabaha is preferred form of investment by Islamic banking institutions as well as for personal and entrepreneurial investing. Murabaha is used when “the bank finances the purchase of a good or asset by buying it on behalf of its client and adding a mark-up before re-selling it to the client on a cost-plus basis. (Ariff, 46-62). The most important part of a murabaha transaction to make it legitimate according to Islamic law is the fact that the bank acquires the asset for a short period of time in which it assumes the risk of the asset. Thus by assuming the risk between purchase and resale, the transaction is considered to be interest free.
Islamic Stock Market
A stock market based strictly on Islamic principles is still in the early stages of its evolution. This development based on Islamic principles is part of an on going process to institute a financial system in the Muslim world. These principles are based on the interpretations of Sharia12 which were explained earlier.
The first step in establishing an Islamic stock market would be to rid the system of riba, or interest. Although riba was explained breifly earlier in this text, it needs to be elaborated on in order to understand it in the context of the Islamic Stock market. Riba has a much broader definition than simply referring to interest. It encompasses all forms of exploitation and excessive charges in business dealings. The stock market itself could be perceived as riba. In the sense that riba means an exploitation of business dealings. An example of this problem would be unequal information among investors or use of any information to take advantage of another investor.
The social wellness function for the Islamic stock market thus continues on to be a knowledge-based encapsulation of a wide range of socio-economic activities that establish cause-effect interrelationships with the stock market as an important kind of ethicized market. This market also plays a significant role in socio-economic development.
“It is also important to note here, that while the Islamic political economy treats the stock market as an ethicizing institution of man and nature for purposes of socio-economic sustainability, this treatment becomes a normative issue in focus. The Shari'ah policies of the transformation process of an Islamic stock market based on complementarity and preferences interactions as knowledge-based processes are then normative issues which are subsequently carried towards quantitative applications. They are thereafter reiterated in the circular causation and continuity model. On the other hand, models of stock market behaviour in manistream economic theory are positivistic models of hedonic competition between all kinds of ventures. They have no moral compunction to serve. Such models assume that competition (taken in the sense of economic rationality) is the Hobbesian character of human beings that cannot be and need not be changed by policies that normatively delve in the epistemological questions involving ethical purpose (Financial Institutions, http).”
Market Efficiency
Efficiency is a difficult concept to define in the context of stock markets. Efficiency depends on whether you are referring to primary or secondary market functions. At the primary market level it would be referred to as the optimal allocation of resources in the primary market, allocation efficiency. In the secondary level it would be considered a market in which the lowest possible transactions prices prevail, operational efficiency. These premises also imply a well-developed trading system that is fast and has accurate process transactions. While these concepts appear relevant from an Islamic standpoint, it is possible that a broader view of efficiency may also be appropriate (Naughton, 5).
A broader view of efficiency in the market is similar to the concept of social efficiency. This notions states that both financial markets and stock markets should be efficient in the sense that they support social justice, fairness and the well being of the society as a whole. This is not a strong feature in Western markets and it could be argued that these markets actually create social inefficiency by encouraging unequal distribution of wealth. In addition to this speculation, financial markets provide opportunities for dishonest activities such as insider trading. These dishonest activities could have an adverse effect on moral standards and business ethics (Naughton, 6).
Securities
Modern financial institutions, such as security and derivatives markets, and instruments such as bonds, futures, swaps, shares and options create problems in an Islamic market. The reasons come from an unclear Sharia instruction for their use. Although stock markets are permitted in Muslim countries, it does not mean the trading practices of the markets are in accordance with the Sharia. Interest-based banks are permitted in most of the Muslim, yet interest is forbidden in Islam. The approach used to examine the acceptability of anything is to consider if it fits within the Sharia instruction. The securities that are used most commonly are common stocks and bonds. Less common but still used are preferred stock, futures and options (Naughton, 7).
Common Stock
In an Islamic context we will refer to common stock as Mudarabha13. Common stock represents a claim to ownership on a company and these stockholders are the owners of the business. This ownership entitles them to share in the rewards or profits of the company. Other rights as a stockholder include the right to vote at stockholder meetings and elect the directors of the firm. On the other hand, stockholders bear the residual risk that third party claims must be met first before the stockholders receive any return on capital.
The scholars and economists of Islam concur that these features make the buying of common stock acceptable. The Council of the Islamic Fight Academy (CIFA) has also approved these common stocks as an investment tool. The CIFA is an international body of Muslim jurists sponsored by the 46 nation Organization of Islamic Conference (Naughton, 8). This council is a respected advisory board that gives direction to the Muslim community internationally. A strong feature of modern Islamic banking theories is that common stocks closely adhere to the profit and loss sharing principles. With the CIFA and banking theories it is difficult to fault common stock as an Islamic instrument.
Debt Securities
Debt securities, such as bonds, present problems to the Islamic investors. A traditional Western style corporate bond is likely to fail any test of acceptability because it is interest based, paying a fixed amount over a specific period of time. In the event of default, penalties are imposed, thus allowing bondholders to take action to recover the outstanding interests and principal. Such penalties are deemed un-Islamic and that is the reason for the prohibition of these bonds. However, Islamic institutions will need varying amounts of short, medium and long-term capital. In order to do this Islamic banks and financial institutions provide financing through various financial contracts. These contracts fall into four categories, and all have variations. The most progressive, from a Western point of view, is profit and loss sharing contracts in which banks are effectively limited term equity investors in the borrowing realm. Examples of these contracts are Mudarabha, mentioned above, and Musharika. Musharika are contracts based on the transactions, where a bank buys assets required by customers and sells them to the customer at a profit with deferred payment. A third type of contract is the Al-Ijarah, is a Western style lease, and is the most commonly used. The final type of contract is the Qard-ul-Hasan. A Qard-ul-Hasan loan is free of any rate of return, although the recipient may wish to compensate the provider with a return in excess of the original borrowing. This is a benevolent loan that is increasing being used to solve problems where there is no other suitable Islamic financing contract (Naughton, 9).
The solution to some of the Islamic debt security issues is likely to be that of transforming traditional interest bearing bonds into transaction-based bonds. Equity based debt contracts are unlikely to provide a balance of financing required by modern businesses or to meet portfolio requirements of investors. Transaction based contracts like the Murabaha, a mark-up or cost- plus, can be used to create debt instruments tied to a particular transaction. An example would be the purchase of an asset by a firm or a series of transactions packaged together. Subscribers to a bond issue would initially buy the asset(s), resell to the borrower at a price higher than the original cost and receive payment for the sale over a stipulated time period in a comparable manner to a conventional bond servicing schedule.
Such forms of debt and bonds raise questions of whether or not it is a fixed return. The resale of an asset, at a price greater than original cost, represents a fixed return to the provider of the financing. Current practices of Islamic banking state the return will be greater the longer the period of repayment. This has been challenged often because of its similarities to riba, no interest, or interest. The consensus of the issue is that these contracts are acceptable whether return is fixed or whether payment increases over time. A straight loan made to the borrower not tied to any asset and receives a return is not acceptable. This is true even if the proceeds of the loan are used to buy a specific asset (Naughton, 10).

Preferred Stock
Preferred Stock is not a significant form of finance in the Islamic market today. However, it is sometimes used. Preferred stock holders in the Islamic arena forego voting rights and participation in management and as a consequence they do rank above common stock holders. But their dividend is a fixed rate, not a share of profits. This fixed return is based on the original investment. Preferred stock is similar to traditional debt financing, or bonds. The main difference is simply the terms used; the return to preferred stockholders is dividend while the return to bondholders is called interest. It has been considered that the restructuring of preferred stock to give the stockholders more equity like features is likely to be acceptable, provided the return is not fixed. Another solution is to structure preferred stock as transaction specific, similar to what has been proposed for bonds. The result in either case is a hybrid security that leads to unclear benefits (Naughton, 11).
Stock Brokering Firms
A traditional firm structure consists of member firms that act as brokers for investors, market makers and traders on their own account. These member firms typically dictate the controlling body or council of the exchange. The controlling body of the exchange will act in the role of a self-regulator in tandem with some form of regulating body that oversees the operation of the market. Membership of the stock exchange is usually restricted and new firms have to either buy an existing seat or apply in accordance with the strict entry requirements (Naughton, 12).
Such a structure seems reasonable for an Islamic stock exchange, as long as the rules for membership do not restrict competition or adversely effect investors. The ideal member will be an Islamic securities business that acts in a way that its affairs are in accordance with Islamic requirements. This will include the absence of riba, interest, in its financial dealing and avoidance of speculation and other unacceptable activities. The next questions that need to be asked is whether Muslims should be allowed to do business or even interact with institutions and banks that are interest based and if non-Muslims should be allowed to do business in an interest-free stock market. These issues demonstrate the many institutional problems that need to be confronted before the progress of the development of a fully developed Islamic market.
Speculation
Speculation is an important issue that needs to be addressed when planning an Islamic stock exchange. Speculation has many forms, but underlying the practice is the fact that speculators are not concerned with the security or commodity that they are trading, but with desire to make a quick buck from buying and selling. Arbitrage is another type of speculation that needs to be looked into. It is clear that these practices are unacceptable because of their association with gambling and excessive risk taking. This undermines the orderly functioning of the stock market while the profits of speculators are accomplished at the loss of another investor. Any potential benefits of speculation are not considered to outweigh the negative aspects (Naughton, 13).
Problems with Islamic Financing
There are four main areas where Islamic banks find it difficult to finance with their profit and loss sharing system. First is participating in long term low yield projects, second is financing small businesses, next is granting non-participating loans to business already running and finally financing government borrowing.
Term Structure of Investments
The table below shows the term structure of investment for 20 Islamic banks in 1998. This graph shows that less than 10% of the total assets go into medium and long-term investments.
Low Yield Projects
This is a very inadequate situation for these banks. The main reason is the need to participate on a profit and loss sharing basis, which involves time consuming complicated assessment procedures and negotiations, requiring expertise and experience. The banks do not seem to have a system developed and therefor choose not to participate. Banks choose not to participate because there are no commonly accepted criteria for the different project evaluations based on a profit and loss sharing system. Each individual case has to be treated separately with the utmost care and has to be assessed in negotiated on it own accord. Other reasons why banks are adverse to doing these agreements are because such investments tie up capital for very long periods of time, which is unlike conventional banking where the capital is recovered in a regular manner from the beginning. The final reason is that the longer the maturity of the project the longer it takes to realize the returns and the banks therefore can not pay a return to their depositors as fast as conventional banks can. With all these reasons it is no wonder why banks are opposed to this kind of investment.
Small Scale Businesses
Small-scale businesses form a major part of the Islamic countries economic sector. Even though these small businesses comprise a large portion of the bank’s clientele, it is hard to provide them with the needed financing under a profit and loss sharing system, even though there is abundant liquidity in the banks. The main problem lies in the comprehensive criteria that needs to be followed in order to grant loans while being able to monitor their use. Small-scale enterprises have encountered greater difficulties in obtaining financing then their large-scale counterparts in these Islamic countries. Many of these small companies, who in the past were able to obtain interest-based financing on the basis of collateral, are now finding it difficult to raise funds for their operations.
Running Businesses
Running businesses often need short-term capital, working capital and ready cash for miscellaneous purchases or various expenses. Unfortunately this important aspect of running a business has not been given much thought in the profit and loss sharing system. Even if there is complete trust and exchange of information between the bank and the business, it is almost impossible or too expensive to estimate this portion of such short-term financing on the return of a given business. Frequently clients need to have quick access to capital for the immediate needs to prevent likely delays in a project’s schedule. According to regulations, it is not feasible to bridge the finance requirements and any financial assistance must be made on the basis of the project’s appraisal to determine type, terms and conditions of the system of financing. The magnitude of the damage caused by the inability to provide financing to this sector will become evident if it is not realized that these running businesses are the foundation of Islamic countries economic survival (Gafoor, 7).
Financial Government Borrowing
In every country the government’s need for credit, both long-term and short-term, accounts for a major component of demand. These loans differ from those to business because these borrowings are not always used for investment purposes, or for investment productive enterprises. Even when invested in productive enterprises they are usually of a lower yield and longer-term type. This only multiplies the difficulties in estimating a rate of return on these loans if they are given (Gafoor, 7).
Conclusion
The Islamic Banking system is still very new. Its impact, though, has been dramatic. Since its implementation, it is the only system in two major Muslim countries. It can be noted that it has been successful in a number of ways yet has its downfalls especially in terms of the finance area. We feel that with a few minor changes, the system will be able to work very efficiently and effectively. While the idea of interest-free banking may be taboo for Westerners, it fits in well with the religious beliefs held by these Islamic countries. In sum, the story of Islamic finance is a vastly complicated one, and cannot be captured without a full understanding of religion and finance, but also of history, politics, economics, business and culture.

Glossary
Al-Ijarah- a Western style lease, and is the most commonly used.
Al-wadiah: safe-keeping
Bai’salam: pre-paid goods
Dafal-dara- The prevention of harm
Ijarah: to give something to rent; lease
Istisna: a form of sale in which a commodity is transacted before it comes into existence
Mudarabha: profit sharing (one investor). One party provides capital, the other party brings work or effort
Mudarib: borrower
Murabaha: mark-up; cost plus
Musharakah: to share; equity participation (many investors) in numerous aspects of the project.
Musharika- contracts based on the transactions, where a bank buys assets required by customers and sells them to the customer at a profit with deferred payment
Qard-ul-Hasan- a benevolent loan that is increasing being used to solve problems where there is no other suitable Islamic financing contract
Ra’f al-haraj- The removal of hardship
Rabbul-mal: owner of capital
Riba- interest-free
Sharia- Taken from the Sharia law, it is the law of Islam, based upon the Koran. Sharia is more than just a law, it is the totality of religious, political, social, domestic, and private life for the Muslim Community.

References

Ariff, Mohamed. “Islamic Banking.” Asian-Pacific Economic Literature, Sept. 1998, 2 (2): 46- 62.
Carter, Phil. “Plenty of Interest.” Asset Finance International Nov. 2001: 23-25.
De Belder, Richard and Chris Ruder. “Middle East: An overview of project finance and Islamic Finance.” International Financial Law Review July 1999: 40-44.
Gafoor, Abdul. “Islamic Banking and Finance: Another Approach.” Sept. 1999, Toronto Canada.
Gafoor, Abdul. “Islamic Banking” Interest-Free Islamic Banking Sept. 1995. Chapter 4.
Naughton, Shahnaz. “Religion, ethics and stock trading: The case of an Islamic equities market.” Journal of Business Ethics Jan. 2000: 1-159.
Rosly, Suiful Azhar. “Investing Now For the Life In the Here After.” New Straights Times Press. Feb. 2002. 3-35.

1 This is a cost plus profit financing transaction used primarily for trade finance.
2 Also referred to as Musharakah: equity participation.
4 murabaha means cost-plus or mark-up
5 www.barakaonline.com.
6 www.islamiq.com/knowledgecenter
7 Sharia law: the law of Islam, based upon the Koran; Sharia is more than just law, it is the totality of religious, political, social, domestic and private life for the Muslim community
8 rabbul-mal: owner of capital
9 mudarib: borrower
10 mudarabha: profit sharing (one investor)
11 musharakah: to share; equity participation (many investors)
12 Sharia: the name given to the sources of the sacred law of Islam, governing all aspects of one’s life; also the law of Islam, based upon the Koran; Sharia is more than just law, it is the totality of religious, political, social, domestic and private life for the Muslim community
13 mudarabha: profit loss sharing